SEPOTONG CINTA DI MASA SMA
Oleh: Zulham Syahputra
Tak kenal maka tak sayang. Itulah yang terjadi di antara kami berdua. Bermula saat membayar uang bulanan di sekolah, aku mengenalnya. Mungkin inilah awal
kebahagiaan di antara kami.
“Ri, kawani aku bayar uang bulanan yuk!?” pintaku pada Eri, teman sebangkuku sekaligus sahabat kentalku sejak awal masuk SMA
“Asalkan pulangnya diantar sihh gak apa-apa, ”jawab Eri
“Iya, tenang aja! Apa sih yang gak buat lo, Ri!” balasku lagi
Kamipun berlalu meninggalkan kelas XII IPA-1 dan segera melangkah ke ruang tata usaha yang berada persis di pojok sisi sebelah timur dari gedung sekolah. Bu Ami, segera menyambut kami di sana.
“Bu, bayar uang sewa ruangan,” ucapku pada bu Ami. Aku termasuk murid yang lumayan berani bercanda dengan guru-guru.
“Udah cair ya In?” timpal bu Ami, tak mau kalah.
“Alhamdulilah, udah Bu.”
“Ri, kawani aku bayar uang bulanan yuk!?” pintaku pada Eri, teman sebangkuku sekaligus sahabat kentalku sejak awal masuk SMA
“Asalkan pulangnya diantar sihh gak apa-apa, ”jawab Eri
“Iya, tenang aja! Apa sih yang gak buat lo, Ri!” balasku lagi
Kamipun berlalu meninggalkan kelas XII IPA-1 dan segera melangkah ke ruang tata usaha yang berada persis di pojok sisi sebelah timur dari gedung sekolah. Bu Ami, segera menyambut kami di sana.
“Bu, bayar uang sewa ruangan,” ucapku pada bu Ami. Aku termasuk murid yang lumayan berani bercanda dengan guru-guru.
“Udah cair ya In?” timpal bu Ami, tak mau kalah.
“Alhamdulilah, udah Bu.”
“Bu, punya saya mana? Udah ditulis
belum?” Tiba-tiba terdengar suara seorang cowok yang langsung nyelonong masuk ke ruang Tata Usaha.
“Siapa sih dia? Gak punya sopan santun banget!!” omelku pada Eri, setengah berbisik.
“Lho…,dia itu kan si Nata, anak IPA-4,” jelas Eri dengan suara yang juga setengah berbisik.
“Oya? Kok baru kali ini aku lihat tampangnya, Ri?”
“Heyy..., ke mana aja kamu selama ini?” Eri bukannya menjawab pertanyaanku. Ia malah menyapa cowok tersebut.
Diam-diam akupun memperhatikan tingkah laku cowok tadi yang ternyata telah saling mengenal dengan Eri, teman karibku itu. Terus terang, sikapnya yang rada angkuh membuatku sedikit jengah. Tapi…. Ah, untuk apa pula aku memikirkannya! Aku bicara sendiri di dalam hati.
“Siapa sih dia? Gak punya sopan santun banget!!” omelku pada Eri, setengah berbisik.
“Lho…,dia itu kan si Nata, anak IPA-4,” jelas Eri dengan suara yang juga setengah berbisik.
“Oya? Kok baru kali ini aku lihat tampangnya, Ri?”
“Heyy..., ke mana aja kamu selama ini?” Eri bukannya menjawab pertanyaanku. Ia malah menyapa cowok tersebut.
Diam-diam akupun memperhatikan tingkah laku cowok tadi yang ternyata telah saling mengenal dengan Eri, teman karibku itu. Terus terang, sikapnya yang rada angkuh membuatku sedikit jengah. Tapi…. Ah, untuk apa pula aku memikirkannya! Aku bicara sendiri di dalam hati.
Segera ku ambil kartu bulananku yang barangkali sudah lumayan lama menunggu di atas
meja Bu Ami.
“Terimakasih, Bu,” ucapku pada
Bu Ami sembari berlalu meninggalkan ruangan
T.U. Aku bergegas menuju kantin
sekolah tanpa mengajak Eri. Aku tak mau mengganggu keasyikan obrolan mereka.
Segera
ku pesan segelas jus jeruk kepada ‘Ibu Kantin’ dan mencari tempat duduk yang agak
terpisah dari kerumunan murid-murid lain. Jus jeruk nyaris ludes dengan sekali
teguk.
Beberapa
saat kemudian pikiranku melayang pada sosok Nata, cowok yang
tadi baru saja ku kenal. Tetapi lamunanku itu tak berlangsung
lama. Sebab sekonyong-konyong aku mendengar sebuah suara yang sudah sangat
familiar di telingaku
“Hey, kok ngelamun,
In?” Suara khas Eri membuyarkan lamunanku.
“Eh, kamu,
Ri! Bikin kaget aja,” celetukku sedikit
kesal.
“Hehehe,
ketahuan! Paling-paling, lagi mikirin si Nata, anak IPA-empat
tadi kan?”
Sial!
Ternyata Eri tahu siapa
yang sedang ku lamunkan.
“Wissh…, gak lah yaow!” jawabku mencoba menyembunyikan kebohongan. “Dah, sana, mau pesan apa? Biar nanti
sekalian aku yang bayar,” lanjutku. Sengaja mengalihkan pembicaraan agar Eri
tak menginterogasiku lebih jauh lagi.
***
***
Bel tanda jam
pelajaran berakhir baru saja berbunyi. Aku segera mengemasi buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas. Kemudian dengan
langkah agak lebih cepat dari biasa akupun berjalan meninggalkan ruangan
kelasku.
“Indah…,
sebentar! Tolong kamu
panggilkan Nata! Siswa IPA-empat. Cepat ya! pinta Pak
Regar, guru matematika
yang mengajar di kelasku pada jam pelajaran terakhir tadi.
“Baik, Pak,” jawabku
Walau dengan sedikit keengganan, akupun berbalik arah. Persis di ambang pintu kelasnya aku bertemu orang yang dimaksud Pak Regar.
“Baik, Pak,” jawabku
Walau dengan sedikit keengganan, akupun berbalik arah. Persis di ambang pintu kelasnya aku bertemu orang yang dimaksud Pak Regar.
“Nata, kamu dipanggil sama PakRegar.” ucapku
datar.
“Oya? Di mana beliau sekarang?”
“Kamu disuruh menjumpai beliau di ruang guru!”
“Oh yaudah, terimakasih ya.”
“Ya, sama-sama.”
“Oya? Di mana beliau sekarang?”
“Kamu disuruh menjumpai beliau di ruang guru!”
“Oh yaudah, terimakasih ya.”
“Ya, sama-sama.”
Natapun
berjalan menuju
ruang guru. Rasa penasaran yang telah
hampir sebulan ku simpan membuatku spontan mengiringi langkahnya.
“Ta, kok aku baru kenal kamu pas di ruang Te-U beberapa waktu lalu?” tanyaku.
“Oh..., iya. Soalnya aku memang jarang ke luar kelas. Lagipula kelas kita kan memang berjauhan!”
“Lho, kok kamu tahu kalau ruang kelas kita berjauhan?” tanyaku lagi. Heran
dan semakin penasaran.
“Ta, kok aku baru kenal kamu pas di ruang Te-U beberapa waktu lalu?” tanyaku.
“Oh..., iya. Soalnya aku memang jarang ke luar kelas. Lagipula kelas kita kan memang berjauhan!”
“Lho, kok kamu tahu kalau ruang kelas kita berjauhan?” tanyaku lagi. Heran
dan semakin penasaran.
“Ya iyalah, siapa sih yang gak kenal sama kamu. Indah, kan?!” balas Nata.
Sayang, pembicaraanku dan Nata terputus karena Pak Regar sudah memberi aba-aba agar Nata segera masuk ke ruang guru. Kelihatannya Pak Regar harus buru-buru.
Sayang, pembicaraanku dan Nata terputus karena Pak Regar sudah memberi aba-aba agar Nata segera masuk ke ruang guru. Kelihatannya Pak Regar harus buru-buru.
“Okelah, aku
ke Pak Regar dulu ya!” Nata pamit
kepadaku.
“Ya deh. Eh,
tapi, minta nomor Hp-mu lah!”
Natapun
menyebutkan deretan angka dan aku mencatatnya di HP-ku. Kemudian langsung ku ‘miss-call’ pula ke nomor tersebut.
“Thanks ya,” ucapku berterimakasih.
“Sama-sama,” pungkasnya.
***
“Hallo…, ini Indah kan?” Suara seseorang menyapaku lewat handphone.
“Ya, betul. Kamu siapa ya?”
“Ini aku, Nata. Yang tadi siang kau mintai nomor ha-pe”
“Ohh...Nata!?
“Lagi ngapain In?”
“Nih lagi duduk bersandar di jendela Ta.”
“wah kayak burung kakaktua aja kamu In!?”
“Ha-ha-ha. Memang iya. Burung kakaktua hinggap di jendela. Habis…, suntuk Ta! Gak ada kawan ngobrol.”
***
“Hallo…, ini Indah kan?” Suara seseorang menyapaku lewat handphone.
“Ya, betul. Kamu siapa ya?”
“Ini aku, Nata. Yang tadi siang kau mintai nomor ha-pe”
“Ohh...Nata!?
“Lagi ngapain In?”
“Nih lagi duduk bersandar di jendela Ta.”
“wah kayak burung kakaktua aja kamu In!?”
“Ha-ha-ha. Memang iya. Burung kakaktua hinggap di jendela. Habis…, suntuk Ta! Gak ada kawan ngobrol.”
”Galau lah
yaow!?
“Ya, kayaknya begitulah.”
“Eh, In, besok kamu ku jemput ya?! Kita bareng aja pergi sekolahnya.”
“Memangnya kamu tahu rumahku?”
“Gampang lah itu. Kalau oke, es-em-eskan aja alamat kamu!”
“Ya, kayaknya begitulah.”
“Eh, In, besok kamu ku jemput ya?! Kita bareng aja pergi sekolahnya.”
“Memangnya kamu tahu rumahku?”
“Gampang lah itu. Kalau oke, es-em-eskan aja alamat kamu!”
“Ya, oke, nanti ku es-em-eskan.”
“Makasih ya. Sampai ketemu besok.”
***
“Makasih ya. Sampai ketemu besok.”
***
“Indah…, udah siang. Bangun!” teriak mama sambil menggedor-gedor
pintu kamarku.
“Yaa…, telat lagi,” gerutuku sembari menggaruk-garuk kepala yang
sebenarnya tak gatal sama sekali.
“Iya Ma, Indah udah bangun kok,” jawabku agar mama tak lagi repot
berteriak-teriak memanggilku. Dan tanpa pikir panjang lagi aku segera menuju kamar
mandi.
Setelah mandi dan berpakaian rapi, akupun menyantap sepotong roti dan segelas susu. Lalu turun ke lantai bawah dan seperti biasa,
berpamitan kepada mama sebelum pergi ke sekolah.
Tak lama
kemudian, Nata benar-benar datang menjemputku.
”Ma, Indah
pergi ya...!” teriakku
pada Mama. Akupun duduk di sisi Nata. Menutup pintu avanza biru yang dikemudikannya. Berdua
kami meluncur menuju sekolah yang tak berapa jauh dari rumahku. “Pagi yang
indah, seindah namaku,” aku membatin di dalam hati.
***
***
Waktupun berputar sebagaimana mestinya. Hubunganku dengan Nata semakin dekat saja. Sedekat benda dengan bayangannya. Sedekat lembaran
buku dengan tulisannya. Hingga suatu ketika….
“In, boleh aku bicara sesuatu?” tanya Nata sambil menatapku. Ketika itu
kami sedang duduk bersisian di taman sekolah.
“Tentu saja boleh Ta. Yaudah, mau ngomong apa?”
“Jujur saja In, aku sudah suka sama kamu sejak kita masih kelas sebelas. Waktu itu aku melihatmu sedang menata buku-buku di perpustakaan. Mau gak kamu jadi pacarku?”
“Tentu saja boleh Ta. Yaudah, mau ngomong apa?”
“Jujur saja In, aku sudah suka sama kamu sejak kita masih kelas sebelas. Waktu itu aku melihatmu sedang menata buku-buku di perpustakaan. Mau gak kamu jadi pacarku?”
“Hah...,serius kamu Ta? Emmh aku juga suka sama kamu kok Ta. Sejak kita bertemu
di Te-U beberapa
waktu lalu. Dan artinya aku mau jadi pacar kamu,”
“Terimakasih Ya-Allah….” Nata
menengadahkan tangannya ke langit. Raut wajahnya memancarkan kegembiraan yang
amat sangat. Sama seperti yang ku rasakan. Bahkan semua bunga di taman seakan mendadak
ikut bermekaran.
Mungkin saat ini aku dan Nata adalah orang yang paling bahagia di seantero dunia.
***
Mungkin saat ini aku dan Nata adalah orang yang paling bahagia di seantero dunia.
***
Hari masih terbilang pagi. Panitia ‘pensi’
tengah sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang di perlukan untuk acara besok. Tiba-tiba aku mendengar ada gemuruh suara yang tidak biasa. Sejumlah siswa tampak mengerumuni seseorang di koridor ruang kelas IPA-4. Dengan
berlari-lari kecil aku menuju ke tempat itu.
“Ada apa, Ri?” tanyaku pada Eri yang ternyata juga berada di situ.
“Gak tahu, In. Akupun baru nyampe sini,” jawab Eri.
Serrr..., jantungku berdesir seketika. Nata? Dengan air mata yang tiba-tiba menetes begitu saja aku menyaksikan tubuh
Nata digotong dengan sebuah tandu oleh teman-temannya.
Tak
lama kemudian, satu unit mobil ambulance
tancap gas melarikan tubuh Nata ke rumah sakit. Aku, Eri dan beberapa teman sekelas Nata ikut mendampinginya.
tancap gas melarikan tubuh Nata ke rumah sakit. Aku, Eri dan beberapa teman sekelas Nata ikut mendampinginya.
Dari
balik kaca ruang periksa aku terus memandangi tubuh Nata yang sudah tak sadarkan diri. Perasaanku
semakin berkecamuk tak karuan tatkala seorang dokter melangkah menuju
pintu.
“Siapa keluarga dari pasien ini?” tanya sang dokter, sesaat setelah pintu ruangan ia bukakan.
“Saya temannya, Dok.”
“Siapa keluarga dari pasien ini?” tanya sang dokter, sesaat setelah pintu ruangan ia bukakan.
“Saya temannya, Dok.”
“Bagaimana keadaan anak kami Dok?” tanya dua orang separuh baya hampir
bersamaan. Rupanya kedua orangtua Nata juga
sudah sampai beberapa detik barusan. Wajah mereka benar-benar diliputi
kecemasan.
Dokter tak serta merta menjawab pertanyaan kedua orangtua Nata. Sesaat
ia terlihat menarik napas dalam-dalam. Baru setelah itu, dengan nada penuh
nelangsa dan dengan suara agak terbata-bata ia pun menjelaskan.
"Maaf
Pak, Maaf Bu! Kami sudah berusaha semampu kami. Namun Tuhan berkehendak lain.
Kali ini nyawanya tak dapat kami selamatkan lagi. Penyakit kanker…"
Tiba-tiba semua yang ada menjadi gelap gulita dan aku tak lagi mendengar apa-apa.
(SEKIAN)
Rumah Caywa, 12 November 2013
PUISI
PUISI
ISTRI SEJATI
Oleh: Halim Mansyur Siregar
Jangan pernah enggan
utarakan saja sejuta duka lara
ceritakan juga gemuruh yang membahana
tuturkan pula kisah-kisah beraroma resah
tak perlu sungkan
karena perih di hatimu merupakan luka di dadaku
karena rintihan kalbumu berarti derita jiwaku
pun kesedihanmu adalah endapan tangisku
percayalah…
aku ini istri sejati
mengerti dan memahami apa yang dialami oleh sang
suami
KISAH BERTAJUK RINDU
Oleh: Halim Mansyur Siregar
Di hening malam ini kembali ku dengar suara itu
ada yang berceloteh di sudut kalbu
menuturkan kisah bertajuk rindu
rindu seorang anak kepada sang ibu
rindu masa-masa kekanakan dulu
ditimang dan dipangku
menangis dan merengek ketika lapar dan dahaga datang
mengganggu
Kini batang usia telah tumbuh dewasa
ingin rasanya menghadirkan buah dan bunga-bunga
untuk memenuhi hasrat dalam jiwa
meski karenanya ku harus meninggalkanmu semakin jauh
dari pelupuk mata
maka doa restumu jualah yang aku pinta wahai bunda
sebab bagiku itulah pupuk paling utama
BERKAT DOA IBU
Oleh: Halim Mansyur Siregar
Ibu…
setelah belasan tahun langkahmu terhenti abadi
setelah belasan tahun rindu di hati tak terobati
kenangan pertemuan itu mengalun syahdu di bilik
kalbu
tutur kata yang senantiasa bertabur bunga
senyum yang selalu beraroma surga
harum menelusup ke dalam jiwa
kini aku telah berdiri di atas setapak jejak kakimu
berkat bening doa dan airmata yang pernah kau
siramkan dulu
hingga semua orang tahu
di sini ada seorang pewaris dan penjaga ilmu yang
terlahir dari rahimmu
mengalirkan asa dan cinta kepada tunas-tunas bangsa
agar tetap terjaga kesuburan tanah persada
DOA SEORANG IBU
Oleh:
Halim Mansyur Siregar
Bersama alunan nada
syukur
lewat sebentuk
tangisan
sejarah baru telah
engkau torehkan
bergegas cepat sepucuk
doa seorang ibu
segera melesat menembus
langit biru
memohonkan kebahagiaan
untukmu
mengharap dan meminta
kepada Sang Pencipta
semoga kelak bahtera
hidupmu melaju tenang
tanpa
ombak, tanpa gelombang
BINGKAI PUTIH
Oleh: Halim Mansyur Siregar
Meski tak
kunjung menjelma gerimis maupun hujan
namun ku tahu
ada mendung di bening matamu
setiap kali
bingkai putih yang dulu kau sematkan
ku usik dengan
butiran debu
CERMIN DIRI
Oleh: Halim Mansyur Siregar
Maafkan amarah bunda pagi tadi
tak tahu mengapa hati hanyut
terbawa emosi
padahal malam ini, ketika engkau
mungkin tengah terbuai mimpi
bunda justru seakan sedang
melihat diri sendiri
DARI ISTRI KEPADA
SUAMINYA
Oleh: Halim Mansyur Siregar
Percayalah sayang
arti kebahagiaan bagiku
adalah hari-hari kebersamaan
sekalipun jemari hujan
selalu menyuntikkan kecemasan
meskipun kepingan malam
yang bertebaran hanya mengirimkan keresahan
DI SUDUT MALAM
Oleh: Zulham Syahputra
Bunda…
di sudut malam aku terjaga
merajut karya dalam
hening napas memesona
mencoba rasakan
letihmu yang kian paripurna
kemudian bersujud
dan melesatkan doa-doa
semoga Sang Maha Kuasa menghadirkan impian penuh bunga
dan senyum
terindah yang yang selalu merekah
menghiasi
lelap tidurmu yang beraroma lelah
SAMPAI
KAPANPUN
Oleh:
Zulham Syahputra
Tak terbatas ruang dan waktu
meski terasing dalam kesendirian
ku tetap menemuiMu
bahkan di
ujung sepi
malam ini
aku
kian
teguh mengikat sebuah asa dan pinta
semoga sampai
kapanpun Engkau
tetap
membimbing
dan
menemani perjalanan hidupku
ELEGI
SEHELAI DAUN KERING (1)
Oleh: Yulie Ayu Utari
Sehelai
daun kering kini menatap nelangsa
pada taman di sekitarnya
berharap
semoga masih ada setitik tempat untuk dirinya
biarlah
ia jatuh dan gugur serta membusuk di sana
lalu
menjadi sedikit nutrisi agar kuntum bunga segera mekar bersemi
sebab
hanya itulah sisa kebahagiaan yang mungkin masih bisa ia dapatkan
namun
bila itupun sang taman tak sudi
karena
menganggap hanya akan mengotori
si
daun kering juga tak akan marah,
apalagi membenci
bahkan
ia telah pula ikhlas dan rela
andaipun
sang taman ingin mengundang desau angin
kemudian
meniup dan mencampakkannya
sejauh mungkin
(Rumah Caywa,
Nov-2013)
ELEGI SEHELAI DAUN
KERING (2)
Oleh: Yulie Ayu Utari
Sebab hati telah hangus
terbakar renik api
hingga tiada peduli
lagi kepada sinar matahari
meski lembut cahayanya
masih terus menyinari
gelas kehidupan kembali
kepada kehampaan
tanpa mimpi, tanpa
angan
bagai sehelai daun
kering
kepasrahan menjadi
teman seiring
(Rumah Caywa, Nov-2013)