Selamat Datang di Blog Majalah Dinding Cahaya JIWA - Online

Selasa, 31 Desember 2013

Sebagian Karya Tulis pada Edisi 23-24

CERPEN

                                                     SEPOTONG CINTA DI MASA SMA
                                                                 Oleh: Zulham Syahputra

             Tak kenal maka tak sayang. Itulah yang terjadi di antara kami berdua. Bermula saat membayar uang bulanan di sekolah, aku mengenalnya. Mungkin inilah awal kebahagiaan di antara kami.
             Ri, kawani aku bayar uang bulanan yuk!?” pintaku pada Eri, teman sebangkuku sekaligus sahabat kentalku sejak awal masuk SMA
             Asalkan pulangnya diantar sihh gak apa-apa,jawab Eri
             Iya, tenang aja! Apa sih yang gak buat lo, Ri!” balasku lagi
             Kamipun berlalu meninggalkan kelas XII IPA-1 dan segera melangkah ke ruang tata usaha yang berada persis di pojok sisi sebelah timur dari  gedung sekolah. Bu Ami, segera menyambut kami di sana.
            Bu, bayar uang sewa ruangan, ucapku pada bu Ami. Aku termasuk murid yang lumayan berani bercanda dengan guru-guru.
            Udah cair ya In?” timpal bu Ami, tak mau kalah.
           Alhamdulilah, udah Bu.
           Bu, punya saya mana? Udah ditulis belum?”  Tiba-tiba terdengar suara seorang cowok yang langsung nyelonong masuk ke ruang Tata Usaha.
            Siapa sih dia? Gak punya sopan santun banget!! omelku pada Eri, setengah berbisik.
            Lho…,dia itu kan si Nata, anak IPA-4, jelas Eri dengan suara yang juga setengah berbisik.
            Oya? Kok baru kali ini aku lihat tampangnya, Ri?”
            Heyy..., ke mana aja kamu selama ini?” Eri bukannya menjawab pertanyaanku. Ia malah menyapa cowok tersebut.
            Diam-diam akupun memperhatikan tingkah laku cowok tadi yang ternyata telah saling mengenal dengan Eri, teman karibku itu. Terus terang, sikapnya yang rada angkuh membuatku sedikit jengah. Tapi…. Ah, untuk apa pula aku memikirkannya! Aku bicara sendiri di dalam hati.
           Segera ku ambil kartu bulananku yang barangkali sudah lumayan lama menunggu di atas meja Bu Ami.
          Terimakasih, Bu, ucapku pada Bu Ami sembari berlalu  meninggalkan ruangan T.U.  Aku bergegas menuju kantin sekolah tanpa mengajak Eri. Aku tak mau mengganggu keasyikan obrolan mereka.


         Segera ku pesan  segelas jus jeruk kepada ‘Ibu Kantin’ dan mencari tempat duduk yang agak terpisah dari kerumunan murid-murid lain. Jus jeruk nyaris ludes dengan sekali teguk.
        Beberapa saat kemudian pikiranku melayang pada sosok Nata, cowok yang tadi baru saja ku kenal. Tetapi lamunanku itu tak berlangsung lama. Sebab sekonyong-konyong aku mendengar sebuah suara yang sudah sangat familiar di telingaku
       Hey, kok ngelamun, In?” Suara khas Eri membuyarkan lamunanku.
       Eh, kamu, Ri!  Bikin kaget aja, celetukku sedikit kesal.
       Hehehe, ketahuan! Paling-paling, lagi mikirin si Nata, anak IPA-empat tadi kan?
       Sial! Ternyata Eri tahu siapa yang sedang ku lamunkan.
       Wissh…, gak lah yaow!jawabku mencoba menyembunyikan kebohongan. “Dah, sana, mau pesan apa? Biar nanti sekalian aku yang bayar,” lanjutku. Sengaja mengalihkan pembicaraan agar Eri tak menginterogasiku lebih jauh lagi.  
                                                                   ***
       
        Bel tanda jam pelajaran berakhir baru saja berbunyi. Aku segera mengemasi buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas. Kemudian dengan langkah agak lebih cepat dari biasa akupun berjalan meninggalkan ruangan kelasku.
          Indah…, sebentar! Tolong kamu panggilkan Nata! Siswa IPA-empat. Cepat ya! pinta Pak Regar, guru matematika yang mengajar di kelasku pada jam pelajaran terakhir tadi.
          Baik, Pak,” jawabku
           Walau dengan sedikit keengganan, akupun berbalik arah. Persis di ambang pintu kelasnya aku bertemu orang yang dimaksud Pak Regar.
Nata, kamu dipanggil sama PakRegar. ucapku datar.
          Oya? Di mana beliau sekarang?”
          Kamu disuruh menjumpai beliau di ruang guru!
          Oh yaudah, terimakasih ya.
          Ya, sama-sama.
          
           Natapun berjalan menuju ruang guru. Rasa penasaran yang telah hampir sebulan ku simpan membuatku spontan mengiringi langkahnya.
          Ta, kok aku baru kenal kamu pas di ruang Te-U beberapa waktu lalu?” tanyaku.
          Oh..., iya. Soalnya aku memang jarang ke luar kelas. Lagipula kelas kita kan memang berjauhan!”
         Lho, kok kamu tahu kalau ruang kelas kita berjauhan?” tanyaku lagi. Heran
dan semakin penasaran.
         Ya iyalah, siapa sih yang gak kenal sama kamu. Indah, kan?! balas Nata.
         Sayang, pembicaraanku dan Nata terputus karena Pak Regar sudah memberi aba-aba agar Nata segera masuk ke ruang guru. Kelihatannya Pak Regar harus buru-buru.
         Okelah, aku ke Pak Regar dulu ya! Nata pamit kepadaku.
         Ya deh. Eh, tapi, minta nomor Hp-mu lah!
         Natapun menyebutkan deretan angka dan aku mencatatnya di HP-ku. Kemudian langsung ku ‘miss-call’ pula ke nomor tersebut.
         Thanks ya, ucapku berterimakasih.
          “Sama-sama,” pungkasnya.
                                                                ***
         
           Hallo…, ini Indah kan?” Suara seseorang menyapaku lewat handphone.
           Ya, betul. Kamu siapa ya?”
           Ini aku, Nata. Yang tadi siang kau mintai nomor ha-pe
           Ohh...Nata!?
           Lagi ngapain In?”
           Nih lagi duduk bersandar di jendela Ta.”
           “wah kayak burung kakaktua aja kamu In!?”
           Ha-ha-ha. Memang iya. Burung kakaktua hinggap di jendela. Habis…, suntuk Ta! Gak ada kawan ngobrol.”
           Galau lah yaow!?
           Ya, kayaknya begitulah.”
           Eh, In, besok kamu  ku jemput ya?! Kita bareng aja pergi sekolahnya.
           Memangnya kamu tahu rumahku?”
           Gampang lah itu. Kalau oke, es-em-eskan aja  alamat kamu!”
           Ya, oke, nanti ku es-em-eskan.
           Makasih ya. Sampai ketemu besok.”
                                                               ***

           “Indah…, udah siang. Bangun!” teriak mama sambil menggedor-gedor pintu kamarku.
            “Yaa…, telat lagi,” gerutuku sembari menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tak gatal sama sekali.
            Iya Ma, Indah udah bangun kok,” jawabku agar mama tak lagi repot berteriak-teriak memanggilku. Dan tanpa pikir panjang lagi aku segera menuju kamar mandi.
            Setelah mandi dan berpakaian rapi, akupun menyantap sepotong roti dan segelas susu. Lalu turun ke lantai bawah dan seperti biasa, berpamitan kepada mama sebelum pergi ke sekolah.
            Tak lama kemudian, Nata benar-benar datang menjemputku.
            Ma, Indah pergi ya...! teriakku pada Mama. Akupun duduk di sisi Nata. Menutup pintu avanza biru yang dikemudikannya. Berdua kami meluncur menuju sekolah yang tak berapa jauh dari rumahku. “Pagi yang indah, seindah namaku,” aku membatin di dalam hati.
                                                                 ***
            Waktupun berputar sebagaimana mestinya. Hubunganku dengan Nata semakin dekat saja. Sedekat benda dengan bayangannya. Sedekat lembaran buku dengan tulisannya. Hingga suatu ketika….
            In, boleh aku bicara sesuatu?” tanya Nata sambil menatapku. Ketika itu kami sedang duduk bersisian di taman sekolah.
            Tentu saja boleh Ta. Yaudah, mau ngomong apa?”
            Jujur saja In,  aku sudah suka sama kamu sejak kita masih kelas sebelas. Waktu itu aku melihatmu sedang menata buku-buku di perpustakaan. Mau gak kamu jadi pacarku?”
           Hah...,serius kamu Ta? Emmh aku juga suka sama kamu kok Ta. Sejak kita bertemu di Te-U beberapa waktu lalu. Dan artinya aku  mau jadi pacar kamu,
             “Terimakasih Ya-Allah.” Nata menengadahkan tangannya ke langit. Raut wajahnya memancarkan kegembiraan yang amat sangat. Sama seperti yang ku rasakan. Bahkan semua bunga di taman seakan mendadak ikut bermekaran.
Mungkin saat ini aku
dan Nata adalah orang yang paling bahagia di seantero dunia.
                                                                 ***
              Hari masih terbilang pagi. Panitia ‘pensi’ tengah sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang di perlukan untuk acara besok.  Tiba-tiba aku mendengar ada gemuruh suara yang tidak biasa. Sejumlah siswa tampak mengerumuni seseorang di koridor ruang kelas IPA-4. Dengan berlari-lari kecil aku menuju ke tempat itu.
             Ada apa, Ri?” tanyaku pada Eri yang ternyata juga berada di situ.
             Gak tahu, In. Akupun baru nyampe sini,jawab Eri.
             Serrr..., jantungku berdesir seketika. Nata? Dengan air mata yang tiba-tiba menetes begitu saja aku menyaksikan tubuh Nata digotong dengan sebuah tandu oleh teman-temannya.
             Tak lama kemudian, satu unit mobil ambulance
tancap gas melarikan tubuh Nata ke rumah sakit. Aku, Eri dan beberapa teman sekelas Nata ikut mendampinginya.
             Dari balik kaca ruang periksa aku terus memandangi tubuh Nata yang sudah tak sadarkan diri. Perasaanku semakin berkecamuk tak karuan tatkala seorang dokter melangkah menuju pintu. 
            Siapa keluarga dari pasien ini?” tanya sang dokter, sesaat setelah pintu ruangan ia bukakan.
            Saya temannya, Dok.
            Bagaimana keadaan anak kami Dok?” tanya dua orang separuh baya hampir bersamaan. Rupanya kedua orangtua Nata juga sudah sampai beberapa detik barusan. Wajah mereka benar-benar diliputi kecemasan.
            Dokter tak serta merta menjawab pertanyaan kedua orangtua Nata. Sesaat ia terlihat menarik napas dalam-dalam. Baru setelah itu, dengan nada penuh nelangsa dan dengan suara agak terbata-bata ia pun menjelaskan.
           "Maaf Pak, Maaf Bu! Kami sudah berusaha semampu kami. Namun Tuhan berkehendak lain. Kali ini nyawanya tak dapat kami selamatkan lagi. Penyakit kanker…"
           Tiba-tiba semua yang ada menjadi gelap gulita dan aku tak lagi mendengar apa-apa.
                                                              (SEKIAN)
                                                                                      Rumah Caywa, 12 November 2013

PUISI



ISTRI SEJATI
Oleh: Halim Mansyur Siregar

Jangan pernah enggan
utarakan saja sejuta duka lara
ceritakan juga gemuruh yang membahana
tuturkan pula kisah-kisah  beraroma resah
tak perlu sungkan
karena perih di hatimu merupakan luka di dadaku
karena rintihan kalbumu berarti derita jiwaku
pun kesedihanmu adalah endapan tangisku
percayalah…
aku ini istri sejati
mengerti dan memahami apa yang dialami oleh sang suami




KISAH BERTAJUK RINDU
Oleh: Halim Mansyur Siregar

Di hening malam ini kembali ku dengar suara itu
ada yang berceloteh di sudut kalbu
menuturkan kisah bertajuk rindu
rindu seorang anak kepada sang ibu
rindu masa-masa kekanakan dulu
ditimang dan dipangku
menangis dan merengek ketika lapar dan dahaga datang mengganggu
Kini batang usia telah tumbuh dewasa
ingin rasanya menghadirkan buah dan bunga-bunga
untuk memenuhi hasrat dalam jiwa
meski karenanya ku harus meninggalkanmu semakin jauh dari pelupuk mata
maka doa restumu jualah yang aku pinta wahai bunda
sebab bagiku itulah pupuk paling utama


BERKAT DOA IBU
Oleh: Halim Mansyur Siregar

Ibu…
setelah belasan tahun langkahmu terhenti abadi
setelah belasan tahun rindu di hati tak terobati
kenangan pertemuan itu mengalun syahdu di bilik kalbu
tutur kata yang senantiasa bertabur bunga
senyum yang selalu beraroma surga
harum menelusup ke dalam jiwa
kini aku telah berdiri di atas setapak jejak  kakimu
berkat bening doa dan airmata yang pernah kau siramkan dulu
hingga semua orang tahu
di sini ada seorang pewaris dan penjaga ilmu yang terlahir dari rahimmu
mengalirkan asa dan cinta kepada tunas-tunas bangsa
agar tetap terjaga kesuburan tanah persada

               

                 DOA SEORANG IBU
           Oleh: Halim Mansyur Siregar

Bersama alunan nada syukur
lewat sebentuk tangisan 
sejarah baru telah engkau torehkan
bergegas cepat sepucuk doa seorang ibu
segera melesat menembus langit biru
memohonkan kebahagiaan untukmu
mengharap dan meminta kepada Sang Pencipta
semoga kelak bahtera hidupmu melaju tenang
tanpa ombak, tanpa gelombang





                                  BINGKAI PUTIH
  Oleh: Halim Mansyur Siregar

Meski tak kunjung menjelma gerimis maupun hujan
namun ku tahu ada mendung di bening matamu
setiap kali bingkai putih yang dulu kau sematkan
ku usik dengan butiran debu


CERMIN DIRI
Oleh: Halim Mansyur Siregar

Maafkan amarah bunda pagi tadi
tak tahu mengapa hati hanyut terbawa emosi
padahal malam ini, ketika engkau mungkin tengah terbuai mimpi
bunda justru seakan sedang melihat diri sendiri


DARI ISTRI KEPADA SUAMINYA
                   Oleh: Halim Mansyur Siregar

Percayalah sayang
arti kebahagiaan bagiku adalah hari-hari kebersamaan
sekalipun jemari hujan selalu menyuntikkan kecemasan
meskipun kepingan malam yang bertebaran hanya mengirimkan keresahan





  DI SUDUT MALAM
   Oleh: Zulham Syahputra
  
Bunda…
                         di sudut malam aku terjaga
                                                                                                merajut karya dalam hening napas memesona
                                                                                                 mencoba rasakan letihmu yang kian paripurna
                                                                                               kemudian bersujud dan melesatkan doa-doa
                                                                                                              semoga Sang Maha Kuasa menghadirkan impian penuh bunga
                                                                                      dan senyum terindah yang yang selalu merekah
                                                                                   menghiasi lelap tidurmu yang beraroma lelah


                                     SAMPAI KAPANPUN
                                     Oleh: Zulham Syahputra

                                  Tak terbatas ruang dan waktu
                                       meski terasing dalam kesendirian
                      ku tetap menemuiMu
                                                       bahkan di ujung sepi malam ini
                                                                              aku kian teguh mengikat sebuah asa dan pinta
                                                                                         semoga sampai kapanpun Engkau tetap membimbing
                                        dan menemani perjalanan hidupku



ELEGI SEHELAI DAUN KERING (1)
  Oleh: Yulie Ayu Utari

Sehelai daun kering kini menatap nelangsa pada taman di sekitarnya
berharap semoga masih ada setitik tempat untuk dirinya
biarlah ia jatuh dan gugur serta membusuk di sana
lalu menjadi sedikit nutrisi agar kuntum bunga segera mekar bersemi
sebab hanya itulah sisa kebahagiaan yang mungkin masih bisa ia dapatkan
namun bila itupun sang taman tak sudi
karena menganggap hanya akan mengotori
si daun kering juga tak akan marah, apalagi membenci
bahkan ia telah pula ikhlas dan rela
andaipun sang taman ingin mengundang desau angin
kemudian meniup dan mencampakkannya sejauh mungkin
                                                (Rumah Caywa, Nov-2013)



ELEGI SEHELAI DAUN KERING (2)

            Oleh: Yulie Ayu Utari

Sebab hati telah hangus terbakar renik api
hingga tiada peduli lagi kepada sinar matahari
meski lembut cahayanya masih terus menyinari
gelas kehidupan kembali kepada kehampaan
tanpa mimpi, tanpa angan
bagai sehelai daun kering
kepasrahan menjadi teman seiring
                    (Rumah Caywa, Nov-2013)