Rubrik: OPINI
Redaktur: Drs.Halim Mansyur Siregar
Karya tulis yang dipajang / diterbitkan:
KARAKTERISTIK GURU YANG BERKEKUATAN PRINSIP
Problema dalam
dunia pendidikan di Indonesia masih menjadi opini publik yang masih meresahkan
dan diperdebatkan. Mulai menyangkut persoalan rendahnya mutu pendidikan, sistem
pembelajaran yang belum memadai hingga kurang profesionalnya para guru.
Sehingga, apa yang
menjadi harapan dan cita-cita dalam dunia pendidikan di negeri ini hanya baru
sebatas retorika dan utopis saja.
Dalam atmosfir
seperti ini, Keberadaan guru kerap menjadi pihak yang dipersalahkan
ketika pendidikan menunjukkan hasil yang mengecewakan. Karena itu, perlu
diadakan berbagai upaya serius untuk meningkatkan mutu dan kualitas guru
sehingga pendidikan lebih baik. Guru merupakan ujung tombak yang sangat
menentukan bagaimana kualitas suatu pembelajaran dilangsungkan. Guru yang
terlatih dan professional diasumsikan memiliki berbagai cara dan strategi untuk
mengelola kelas sehingga tetap berorientasi pada tujan pendidikan
sebagaimana diamanatkan UU Sistem Pendidikan Nasional.
Mutu guru dipandang
sebagai sebuah substansi yang menggaransikan kemajuan dan perubahan pada
peserta didik. Kompetensi yang dimiliki guru akan memberi pengaruh terhadap
maju tidaknya prestasi siswa. Akhirnya guru yang berpredikat “Pelita dalam
Kegelapan” harus melakukan usaha-usaha maksimal demi tercapainya perubahan yang
optimal pada diri siswa.
Bentuk
perubahannya, seperti dari tidak tahu menjadi tahu, dari memiliki sedikit
pengetahuan jadi berpengetahuan lebih banyak, kurang beretika menjadi tahu
sopan santun adalah hal yang selalu diprioritaskan guru dalam setiap tindakannya.
Namun untuk mencapai pencerahan dan perubahan itu bukanlah hal yang
mudah, sebab ada banyak faktor penghambat maupun hal-hal yang lebih
diprioritaskan.
Menurut Robert M Gagner, ada dua hal yang membuat faktor penghambat dalam
melakukan perubahan ( transformasi ) yakni, faktor internal dan eksternal.
Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional maupun Kode Etik Guru secara eksplisit
mengamanatkan, faktor internal ( personalitaas ) guru merupakan bagian yang
menentukan. Entitas stakeholder (guru) merupakan modal dan aset kekuatan dalam
mencapai dan menentukan transformasi keberhasilan bagi peserta didik atau
siswa. Kesungguhan maupun integritas guru memberikan implikasi yang signifikan
dan keberartian bagi pencapaian tujuan pendidikan yakni, membentuk insan
intelektual, cerdas, terampil, dan berbudi pekerti.
Untuk meraih tujuan
yang dicita-citakan dan untuk mengamini harapan yang begitu besar, maka
karakteristik guru yang berkekuatan prinsiplah mampu memberikan
kontribusi perubahan berharga bagi anak bangsa ini, mampu melahirkan siswa yang
tangguh, cerdas, terampil.Untuk itu penulis memberikan inspirasi bahwa
karakteristik guru yang berkekuatan prinsip itu; seperti terus-menerus
belajar, berorientasi pada pelayanan, memberi energi positif, bersinergi,
integritas, dan mental tak cepat puas diri.
Guru sejati
menganggap hidupnya sebagai satu periode pendidikan, untuk itu guru selalu haus
dalam memperoleh pendidikan lebih. Guru secara terus-menerus untuk memperkaya
dan menggali ilmu lebih banyak lagi, tidak berhenti sampai saat ini melainkan
terus melakukan pemutakhiran ilmu pengetahuan, otodidak.
Selanjutnya,
menjadikan membaca sebagai suatu kebiasaan ( Reading habit ), gemar
membaca hingga dijuluki kutu buku atau senang melakukan penelitian dan tekun
belajar serta selalu memburu buku-buku baru untuk menambah wawasan dan
cakrawala berpikir guru. Dengan kekayaan ilmu yang dimiliki guru, tentu akan
tercurah bagi siswa. Kekayaan ilmu guru juga memperkaya ilmu siswa. Ironisnya
ada guru dalam satu tahun belum tentu memiliki buku baru, referensi yang baru.
Barangkali disebabkan budget untuk itu terbatas. Tetapi banyak alternatif lain
yang harus dilakukan oleh guru, misalnya fasilitas internet.
Kemudian, guru
harus lebih menitikberatkan hidupnya pada misi pendidikan daripada hal-hal yang
lain yang bersifat keuntungan (Profit Oriented), tidak berhenti memberikan
pelayanan pendidikan yang terbaik bagi siswa. Mulai membimbing dengan penuh
kesabaran, kemauan yang tinggi untuk mencerdaskan bangsa. Bertanggung jawab dan
mengisi diri dengan ilmu serta memberikan kontribusi bagi siswa. Menumbuhkan
niat dalam diri guru bahwa melayani siswa untuk pencurahan ilmu adalah sesuatu
keharusan yang dilakukan demi menciptakan manusia yang cerdas, terampil,
religius, inovatif, progresif. Kesungguhan dan ketulusan dalam mengerjakan hal
ini, tentu akan mendapat berkah yang berlimpah. Setengah hati untuk mendidik
dan melayani siswa serta sikap cuek, apatis, egois, tidak peduli akan siswa
merupakan sebagian dari potret guru yang ada. Bila hal ini terjadi
berarti berapa generasi lagi siswa kita yang terpuruk. Di mana letak komitmen
guru yang professional?
Master Cheng Yen,
mengatakan “Bila tidak berusaha menciptakan keberkahan, Mana mungkin
mendapatkan berkah.” Mari kita memberi pelayanan yang terbaik maka kita
akan mendapat berkah.
Hal lainnya,
penyuguhan ekspresi yang menarik dan menyenangkan dalam pembelajaran tentu akan
memberi energi positif pada pemahaman siswa. Mengorkestrakan kelasnya sehingga
menjadi hidup dan bergairah ditambah dengan bumbu-bumbu sedikit humor
(Rekreatif). Dengan ekspresi yang bergairah ini akan memberi keleluasaan bagi
guru untuk memberi pendekatan yang optimis dan antusias terhadap
kelemahan-kelemahan serta conundrum yang terjadi pada siswa.
Membuka diri untuk
menghilangkan sekat pemisah antara guru dan siswa.Yang akhirnya guru dapat
memberi solusi bagi siswa yang bermasalah.Hilangnya beban dan conundrum pada
peserta didik akan lebih mudah bagi guru untuk memotivasi dalam
pembelajaran.
Dalam melaksanakan
tugasnya, guru jangan memakai pilosofi “Superman atau One man Show.”Artinya
guru hanya bekerja sendiri-sendiri dan cukup hanya mengandalkan kemampuan
sendiri. Pengalaman seperti ini tentu tidak memberi hal yang positif dan
optimal dalam pencapaian tujuan keberhasilan dan perubahan pada diri siswa.
Tetapi, guru harus menerapakan “Team Work” (Kerja tim atau Tim Kelompok Kerja)
Membentuk kerja sama yang baik untuk sama-sama memikirkan strategi, metode,
serta langkah-langkah yang terbaik untuk diterapkan pada pembelajaran. Kerja
sama yang baik selalu dibarengi dengan ketulusan hati dan komitmen.
Guru harus
memikirkan dirinya adalah seseorang yang sangat berharga. Menanamkan pada
dirinya bahwa tanpa jasaku mereka tidak berarti apa-apa, berarti saya harus
sungguh-sungguh dalam proses pembelajaran dan menyampingkan rasa sombong dan
keangkuhan. Meyakini dengan setinggi-tingginya bahwa ilmu yang kuberikan pada
siswa itu, sungguh benar, tepat, bernilai tinggi untuk bekal masa depan siswa.
Keyakinan seperi ini akan memuluskan alur pengembangan inspirasi guru. Wendel
Holmes menyatakan, Apa yang ada di depan dan di belakang kita hanyalah ikhwal
kecil, bila dibandingkan dengan apa yang ada dalam diri kita. Artinya
jangan ragu-ragu dalam memberikan kontribusi positif bagi siswa.
Sikap ini harus
ditumbuhkan pada diri setiap pendidik, guru yang telah berhasil dalam melakukan
bimbingan pada siswanya, tidak cepat berpuas diri karena sikap yang demikian
akan memberikan keinginan untuk meraih prestasi yang lebih baik
lagi.Jadikan keberhasilan pertama cambuk untuk meraih prestasi maupun
keberhasilan sejati. Sebaliknya cepat puas berarti tidak ada hasrat untuk
kejenjang kesempurnaan. Kemenangan yang melegenda lebih baik dari kemenangan
yang didasari akan mental cepat puas.
Semoga sedikit catatan
ini menambah inspirasi bagi teman-teman guru dalam mencerdaskan anak
bangsa, terpenting bagaimana mengambil nilai positifnya untuk direalisasikan
dalam kelas serta optimalkan pendidikan. Semoga!
Oleh: Bahtiar
Damanik S Pd M Pd
Pengajar di SMP N-2 Pegajahan Kabupaten Serdang
Bedagai
POTRET GURU DAN WAJAH PENDIDIKAN KITA
Oleh : DRS.Halim
mansyur siregar
Sebagaimana kita maklumi, ada dua hari paling istimewa dalam
dunia pendidikan di Indonesia yang selalu diperingati setiap
tahun. Yang pertama ialah Hari Pendidikan Nasional yang jatuh
pada tanggal 2 Mei dan yang kedua yaitu Hari Guru, yang jatuh
pada tanggal 25 November.
Dapat dikatakan bahwa antara keduanya adalah saling
berkaitan satu sama lain. Artinya, membahas masalah
pendidikan tentulah erat hubungannya dengan sosok-sosok ibu
dan bapak guru. Begitu juga sebaliknya, memperbincangkan
para ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’ itu akan berkorelasi pula
terhadap hal-hal yang menyangkut persoalan pendidikan.
Terkait pembicaraan tentang guru dan pendidikan tadi kiranya
masih menarik untuk menyimak kembali ucapan Kaisar Hirohito
semasa terjadinya perang dunia kedua dahulu. Kala itu, setelah
Jepang (kota Hiroshima dan Nagasaki) dijatuhi bom atom oleh
tentara sekutu ternyata ucapan pertama yang terlontar dari
mulut Sang Kaisar adalah sebentuk pertanyaan: berapa guru
yangmasihhidup?
Pertanyaan di atas jelas menunjukkan bahwa pemimpin ‘Negara
Matahari Terbit’ tersebut begitu peduli terhadap pendidikan.
Penguasa ‘Negeri Sakura’ ini berkeyakinan besar (optimis)
bangsanya akan mampu dan segera bangkit lagi dengan
eksistensi para guru.
Pada perkembangan selanjutnya, hingga kini memang terbukti
Jepang berhasil menjadi salah satu negara maju.
Keberadaannya sangat diperhitungkan dan termasuk paling
disegani di dunia (terutama di kawasan Asia).
Sampai sekarangpun sistem pendidikan dan kualitas komunitas
guru di Jepang benar-benar layak diacungi dua jempol, bahkan
sepuluh jari. Menurut sebuah sumber yang pernah penulis baca,
untuk setingkat SMA telah mempunyai tenaga pengajar bergelar
profesor dalam setiap sekolah. Malah pada sekolah-sekolah
semacam SMK-Teknik (STM) minimal sudah memiliki tiga orang
profesor ahli. Di level perguruan tinggi , mayoritas
universitasnya menggunakan develop ‘multimedia classroom’ di
mana pada setiap meja kuliah para mahasiswa tersedia
komputer yang tersambung langsung ke jaringan internet.
Dengan develop pembelajaran begini maka rata-rata dosen dan
sebagian guru di Jepang melakukan kegiatan pembelajaran
yang bahan ajar atau materi kuliahnya terdapat di ‘website’
pribadi si dosen atau guru yang bersangkutan. Selain itu, para
pelajar dan mahasiswanya pun bisa mengakses sumber-sumber
lain untuk materi pelajaran dan perkuliahan serupa yang juga
dari internet.
Fenomena demikian tentu masih belum kita temukan di
Indonesia. Kalaupun ada tentulah masih teramat langka.
Jangankan sarana, mutu sumber daya manusia guru-guru di
tanah air terkadang membuat kita terpaksa ‘mencibir’.
Tanpa bermaksud merendahkan rekan-rekan sesama guru,
tetapi tipe guru dimaksud mungkin saja ada atau pernah ada di
tengah-tengah kita. Lulusan SMA mengajar di SMP (terutama
sekolah swasta atau tenaga honorer di sekolah negeri)
sempat
menjadi hal biasa. Padahal, sebagaimana kita
maklumi, untuk
menjadi seorang guru haruslah memenuhi kriteria layak dan
mampu. Artinya, boleh jadi si guru dimaksud memang punya
kemampuan. Namun secara kelayakan ia tidak memenuhi atau
sebaliknya.
Ke depan, paradigma pendidikan harus lebih dipacu untuk
semakin maju. Dan upaya ke arah itu memang mesti dimulai dari
figur para guru, baru kemudian dibarengi dengan komponen-
komponen lainnya, semisal kurikulum, sarana dan prasarana
serta berbagai perangkat yang diperlukan. Kemajuan dunia
pendidikan hanya akan menjadi mimpi di siang bolong kalau
tenaga-tenaga pendidiknya masih terus terbelenggu oleh
kepentingan-kepentingan birokrasi. (Bahkan persentase
kelulusan yang tinggi pun ternyata juga tak dapat menjadi ‘tolak
ukurnya’.)*