Beberapa tahun belakangan hingga saat ini, semakin sering
kita mendengar ujaran – kasih tau ga ya?, mau tau aja atau mau tau banget?, ciyus...?,
miyapa..?, apa aja juga boleh – dari berbagai kalangan baik kalangan remaja,
maupun usia dewasa. Bahkan, sering juga kita melihat atau menulis kata – kata
yang berbeda – Humz, Ja,
Yupz, Niyh, Tuch, Dech, Lom, abizzz, Maniezt, Kyeent, Tawh – dari bahasa
Indonesia pada umumnya.Bahasa dan tulisan diatas sangat familiar didengar maupun
dilihat oleh kita akhir – akhir ini. Bahkan sudah “membooming” hingga menjadi
salah satu trend bahasa dan tulisan dikalangan remaja. Fenomena yang terjadi berawal
dari semakin majunya teknologi sebut saja pesan singkat (SMS) yang menerapkan
batas jumlah karakter huruf yang akan dikirimkan ke penerima pesan, sehingga
muncul pengefektifan huruf dengan menyingkat kata sesingkat-singkatnya tanpa
mengurangi makna dari kata tersebut. Sehingga pesan juga bisa tersampaikan.
Maka
muncullah bahasa yang sering kita sebut “bahasa Alay”. Tak hanya
bahasa, tulisan alay juga semakin sering menghiasi media sosial atau bahkan
sejumlah iklan di media. Kata-kata itu ditulis dengan kombinasi huruf besar,
kecil dan angka, sungguh jauh dari kaidah ejaan yang benar. Namun, semakin
kebelakang malah semakin kebablasan. Bahkan fenomena penggunaan bahasa dan
tulisan ini dianggap tend yang mampu membius kalangan usia sekolah mulai dari kalangan
SD, SMP, hingga SMA. Karena dianggap mereka akan keren dan up to date ketika
menggunakan bahasa dan tulisan Alay.
Apalagi
ditambah semakin banyakanya media jejaring sosial “social networking” didunia
maya – friendster, facebook, twitter – yang mengakomodir para penggunanya untuk
bebas berekspresi dan mengabarkan setiap detik yang ingin dituliskan di “wall”
mereka. Hingga membuat nama profilnya dengan nama yang tidak mencerminkan
namanya. Padahal apapun yang mereka tulis maupun yang mereka munculkan menjadi
foto profilnya, maka semuanya itu akan dilihat oleh orang banyak sesama
pengguna dunia maya. Pastinya itu tanpa adanya filteralisasi oleh siapapun.
Karena semua pengguna bebas mengakses apapun yang mereka inginkan. Ditambah
lagi, seperti sengaja dibenarkan merebaknya bahasa dan tulisan tersebut oleh
kalangan publik seperti kalangan selebritis yang banyak memiliki penggemar
fanatik. Hal ini semakin menjadikan bahasa Alay seperti bahasa dan tulisan yang
wajar dan akrab khususnya kalangan remaja. Lalu, seperti apakah sikap kita akan
fenomena itu?
Menurut Dosen
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Bramantio., SS. M.Hum menjelaskan
gejala tersebut sebagai fenomena bahasa alay. “Alay merupakan suatu fenomena
yang terjadi pada sekelompok remaja minoritas dan memiliki karakteristik yang
unik. Bahasa yang mereka gunakan terkadang “menyilaukan” mata dan “menyakiti”
telinga bagi masyarakat yang tidak terbiasa,” tuturnya saat diskusi
“Fenomena Bahasa Alay dan Jatidiri Generasi Muda Indonesia”.
Disini kita
akan membahas dampak positif dan negatif penggunanan bahasa lisan maupun
tulisan alay khususnya bagi remaja usia sekolah dan anak – anak usia balita.
Dampak positif dari bahasa alay yakni sebagai media berekspresi bagi remaja
yang memiliki kebutuhan untuk diperhatikan lebih. Mereka jadi lebih kreatif dan
dinamis dalam menciptakan maupun menginovasi bahasa baku yang sudah ada. Para
remaja jadi lebih kritis dan merasa lebih memiliki jati diri ketika mampu
berekspresi lebih. Sementara, sisi negatif bahasa alay membuat bingung bagi
orang yang tidak terbiasa berkomunikasi menggunakannya. Apalagi ketika semakin
sering digunakan oleh remaja, maka mereka akan semakin melupakan bahasa
Indonesia secara perlahan. Karena bahasa dan tulisan alay ini sangat jauh dari
kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Parahnya lagi, ketika fenomena ini
terus dibiarkan berkembang, maka pengguna bahasa dan tulisan alay ini semakin
leluasa tanpa hambatan hingga malas untuk bertutur kata mengikuti tata bahasa
yang seharusnya. Karena bahasa akan senantiasa terjaga ketika pengguna
senantiasa menggunakan bahasa tersebut secara baik dan benar. Bukan tidak
mungkin bahasa nasional kita – bahasa Indonesia - semakin lama akan semakin
terganti oleh bahasa pergaulan atau bahasa alay.
Untuk itu, pada
semua pihak baik keluarga, pendidik, maupun publik senantiasa memberikan
pembelajaran penggunaan bahasa yang lebih baik. Kalangan remaja juga tidak
terus “latah” menggunakan bahasa dan tulisan alay yang akan mengancam
keberadaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Berbanggalah untuk tetap
menggunakan bahasa Indonesia yang baik
dan benar. Jangan terbiasa dengan hal yang mudah dan enak untuk dipakai ataupun
didengar. Sudah seharusnya, kita diharapkan menggunakan bahasa Indonesia sesuai
kebutuhan dan tuntutan. Penggunaan bahasa Indonesia seharusnya tetap
memperhatikan kaidah, peserta komunikasi, situasi, kondisi dan tujuan
komunikasi. Dengan demikian keberadaan bahasa Indonesia akan tetap menjadi
bahasa Nasional dan tidak terancam oleh keberadaan bahasa lain yang tidak jelas
kaidahny
*******************************************
Intelektual Sejati
Oleh : Drs. Halim Mansyur Siregar
Siapapun kita tentu sepakat jika
predikat kelompok intelektual sesungguhnya melekat pada sosok-sosok ibu dan
bapak guru. Selaku penyandang gelar yang cukup terhormat itu maka sudah
selayaknya pula para guru bersikap dan berperilaku serta menjalankan fungsi
yang mencerminkan keintelektualan. Dengan kata lain, para gu-ru merupakan sumber
pengetahuan sekaligus menjadi figur panutan yang digugu dan ditiru oleh
murid-murid mereka.
Sebagai pengajar (sumber ilmu),
sebenarnya setiap guru masih mempunyai kewajiban untuk terus meningkatkan
wawasan keilmuan yang telah mereka dapatkan melalui pendidikan maupun
pengalaman di lapangan. Dan selaku pendidik (panutan), gurupun harus senantiasa
berupaya mengajak, membimbing dan mendorong murid-muridnya ke arah yang sama.
Di sinilah kegemaran membaca dan menulis
(menyampaikan gagasan, pengetahuan,
pengalaman dan sebagainya dengan menggunakan bahasa tulisan) mengambil peran.
Betapa pentingnya peranan kegemaran
membaca, terlebih kebiasaan menulis tadi sehingga bisa dikategorikan merupakan
budayanya kaum intelektual. Aktifitas baca-tulis dianggap mewakili kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian hari semakin tinggi. Artinya, tingkat
intelektualitas seseorang dapat dilihat dari seberapa gemar ia membaca dan
seberapa sering pula ia membuat tulisan, terutama jika tulisan-tulisannya
kemudian juga diterbitkan oleh media massa
berupa koran, majalah dan sebagainya.
Wajar-wajar saja pemikiran di atas.
Logikanya, sejak seseorang (di masa balita) mempunyai kemampuan bicara,
tentulah ia mampu mengutarakan dan mengungkapkan keinginan, pengetahuan atau pengalaman dan
hal-hal lain yang terjadi pada dirinya dengan bertutur kata secara lisan. Sementara
memaparkan melalui tulisan barangkali baru dipelajari setelah duduk di bangku
sekolah dasar nanti untuk selanjutnya akan terus diasah pada jenjang-jenjang pendidikan
yang lebih tinggi.
Di samping itu, tentunya penulis
menempati posisi yang lebih tinggi daripada pembaca. Penulis adalah seumpama
guru yang mengajari (memberi informasi), sedangkan pembaca laksana para siswa
yang menyerap informasi dimaksud. Baik informasi mengenai kejadian-kejadian tertentu,
penemuan-penemuan teknologi baru, gagasan-gagasan penyelesaian masalah yang
nyaris menemui jalan buntu maupun hal-hal lain yang memang dirasa perlu.
Pendek kata, menulis adalah suatu perbuatan mulia. Tentu
saja apabila tulisan yang dihasilkan berguna
untuk kebaikan masyarakat (pembaca), terutama dalam rangka menambah khazanah wawasan ilmu pengetahuan
dan teknologi maupun manfaat-manfaat positif lainnya yang berfaedah bagi umat manusia.
Yang jelas, aktifitas menulis akan
memberikan dampak yang cukup signifikan kepada berbagai kalangan. Golongan pembaca semakin luas wawasannya. Media massa ikut berkembang atas
tulisan yang kita sumbang. Anak-anak didik tidak hanya berkutat pada buku-buku
pelajaran yang terkadang kaku dan
kering kerontang. Penulisnya pun tak jarang bisa memperoleh uang jika
tulisannya dimuat (diterbitkan) pada rubrik atau di media massa yang memberlakukan ketentuan demikian.
Semoga uraian dalam tulisan ini
menggugah hati komunitas guru selaku pemangku profesi yang mengaku dan diakui
sebagai kaum intelektual untuk ikut berpartisipasi meramaikan dunia kepenulisan.
Semakin berminat menulis dan semakin produktif menghasilkan tulisan berarti
kita memang intelektual sejati.(*)
*************************************************************
Kunci Sukses Itu Adalah Mampu Mengelola Waktu
Oleh : Halim M. Siregar
‘Time is money’ (waktu adalah uang). Demikian
pepatah orang Inggris. Orang Arab lain lagi. ‘Alwaktu
Ka-asshaif’ (waktu itu seumpama pedang). Begitu pepatahnya. Kedua idiom ini mengisyaratkan tentang betapa berartinya
‘sang waktu’ bagi mereka.
Cara pandang orang Inggris (juga orang-orang barat
pada umumnya) mungkin menakar keberhasilan dalam mengarungi hidup dan kehidupan
ini ialah dengan uang yang didapatkan. Artinya, jika ingin memperoleh uang
(kesuksesan) maka harus pandai-pandai menggunakan waktu. Sebaliknya, bila tidak
maka waktulah yang bakal menguras pundi-pundi uang mereka.
Sementara
bangsa-bangsa Arab yang sejak dahulu kala
terkenal ‘heroik’ dan berjiwa ‘militan’ barangkali menganggap kemampuan
memanfaatkan waktu laksana ajang pertarungan antara hidup dengan mati.
Singkatnya, siapa yang pandai menggunakan waktu maka mereka akan selamat dan
keluar sebagai pemenang. Sedangkan bagi yang menyia-nyiakannya maka orang
tersebutlah yang akan merasakan tajamnya mata pedang dan menjadi pecundang
(pihak yang kalah) di arena pertarungan.
Sebagai bangsa dan negara berkembang (developing
country), kalau ingin maju maka sudah selayaknya kita tidak membuang-buang
waktu dengan percuma. Kita bahkan harus ‘mengadopsi’ cara pandang yang meyakini
bahwa waktu itu merupakan sesuatu yang memiliki essensi dan faedah yang begitu
besar. Dengan kata lain, setiap waktu yang tersedia mestilah kita pergunakan
seoptimal mungkin.
Selain
dari apa yang telah disebutkan di atas, sesungguhnya essensi
waktu jauh lebih vital daripada harta. Sebab harta seandainya hilang,
masih ada kemungkinan untuk mencari atau menggantinya. Sedangkan waktu, apabila
ia telah hilang (berlalu) maka tentu sudah tertutup peluang untuk mencari
(mengulanginya) lagi.
Detik demi
detik, menit, jam, hari dan satuan-satuan waktu lainnya akan terus mengalir.
Masa balita, kanak-kanak dan remaja tak akan bisa terulang kembali dalam
kehidupan kita di dunia ini.
Oleh
karena itu kita harus benar-benar mampu mengatur
dan mengelola waktu dengan sebaik-baiknya. Kemampuan mengatur,
mengendalikan dan mengelola waktu secara baik inilah yang sangat urgen untuk ditanamkan ke lubuk
hati kita yang paling dalam (terutama para generasi muda) demi terwujudnya
peningkatan kualitas kepribadian masing-masing dan bangsa Indonesia pada
umumnya.
Sebagai bentuk aplikasi dari apa yang telah diuraikan itu
maka sejak saat ini mari kita isi ‘episode demi episode’ kehidupan yang sedang
kita jalani sekarang dan akan kita lalui nanti dengan hal-hal yang bermanfaat
bagi masyarakat, nusa dan bangsa serta agama tentunya.
Belajar, bekerja dan beribadah merupakan beberapa
contoh kegiatan yang tidak boleh kita tinggalkan dalam mengarungi arus
perjalanan sang waktu. Itulah kunci yang harus kita
miliki jika ingin memasuki ‘istana kesuksesan’. Baik dalam kehidupan di
muka bumi ini maupun di akhirat nanti. (*)
**************************************************
Mengisi Masa Liburan
Oleh : Drs.Halim Mansyur Siregar
Dalam hitungan waktu yang tak begitu
lama lagi kita akan memasuki masa ‘jeda’ atau yang akrab dikenal dengan libur
kenaikan kelas. Dan jujur saja, momen libur panjang semacam itu termasuk yang
paling ditunggu-tunggu. Baik oleh para siswa maupun bapak dan ibu guru.
Beragam rencana mungkin telah
memenuhi otak di kepala dan hati di dada. Barangkali piknik ke luar kota bersama keluarga atau bersilaturahmi
mengunjungi sanak saudara yang jarang-jarang baru bisa berjumpa maupun hasrat
dan keinginan lain yang sebelumnya tertunda. Juga bagi yang tak ke mana-mana
alias di rumah saja tentu bisa pula mengisinya
dengan kegiatan-kegiatan ‘penyegaran’ tanpa biaya, semisal memperbanyak
intensitas berolah raga, menulis atau membaca dan berbagai hal positif lainnya.
Memang, suasana libur sangatlah berpengaruh kepada jiwa dan raga setiap
orang. Menjadi penyeimbang terhadap
rutinitas bersekolah ataupun menggeluti pekerjaan sehari-hari. Sebab, segala aktivitas yang dilakukan terus-terusan
dalam waktu yang cukup lama pastilah menimbulkan rasa bosan, jenuh, letih dan
sebagainya. Maka setidaknya kondisi demikian bisa sedikit mereda di musim
liburan, oleh karena kita mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk
menyelinginya dengan banyak kegiatan di
luar suasana formal sekolah atau pekerjaan sehari-hari.
Akan tetapi, tak jarang, masa-masa seperti itu hanya digunakan untuk
hal-hal yang tidak menentu oleh anak-anak (didik) kita. Di sinilah andil
orangtua dan para guru memegang peranan dalam rangka mengarahkan mereka kepada
kegiatan-kegiatan positif dan lebih
bermanfaat.
Masa liburan bukan berarti menjadi tempat buat bermalas-malasan atau
hura-hura tak karuan, apalagi sampai menjurus kepada tindak kejahatan. Justru
momentum penyegaran pikiran ini semestinya dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk
dapat menumbuhkembangkan ide, kreativitas, bakat dan keterampilan yang kelak
berfaedah untuk menunjang kehidupan
mereka pada saat diperlukan. Bahkan, sebetulnya, libur juga tidak harus sepenuhnya menjauh dari lingkungan
sekolah.
Bentuk-bentuk kegiatan ekstrakurikuler seumpama pramuka, Palang Merah
Remaja, kelompok-kelompok penelitian ilmiah, sanggar-sanggar seni dan semacamnya
dapat berfungsi sebagai sarana penyaluran kreatifitas dan produktifitas para
siswa sesuai minat dan bakat yang mereka miliki dalam mengisi masa-masa liburan
nanti. Selain sebagai sarana pembinaan keterampilan, juga bisa menjadi tempat ‘refreshing’
tersendiri.
Akan sangat bermanfaat apabila dalam masa liburan pun para tunas bangsa
itu memperoleh tambahan wawasan, keterampilan dan ilmu pengetahuan. Namun tentu
saja dengan suasana rileks dan tanpa sedikitpun aroma keterpaksaan. Melainkan
murni dari lubuk hati para peserta didik sendiri. Guru hanyalah bersifat membantu,
membimbing dan mengarahkan mereka.(*)
**********************************************************
Menyeimbangkan Fungsi Otak Kiri dan Kanan Dalam Pembelajaran
Oleh : Drs.Halim Mansyur Siregar
Di tengah berlangsungnya KBM
(Kegiatan Belajar Mengajar) barangkali ibu dan bapak guru pernah atau bahkan
sering menjumpai ada beberapa siswa yang melakukan hal-hal semisal menghayal,
menggambar-gambar sesuatu di buku, iseng mengganggu teman sebangku maupun
perbuatan-perbuatan lain yang sebetulnya tidak perlu dan tak ada kaitannya
dengan topik pembelajaran saat itu.
Beragam pula mungkin reaksi yang
kita tunjukkan dalam menyikapi ataupun mengatasi tingkah polah anak-anak didik
tadi. Boleh jadi ada yang marah dibuatnya. Atau ada juga yang sekadar
mengingatkan dengan lemah lembut kepada mereka agar kembali fokus terhadap
pelajaran. Bahkan ada pula yang ‘cuek bebek’ alias pura-pura tidak tahu dan
masa bodoh dengan keadaan demikian. Serta banyak lagi kemungkinan lain yang
ditimbulkan.
Apapun tindakan tersebut, sepanjang
bersifat dan berniat untuk mendidik mereka ke arah yang lebih baik tentulah
manusiawi dan sah-sah saja. Namun selaku pendidik, sebaiknya kitapun mesti introspeksi
diri daripada larut terbawa emosi. Senantiasa berpikir positif dan selalu
berupaya mencari serta menemukan akar permasalahannya untuk kemudian memperoleh
jalan keluar mengatasi situasi dan kondisi seperti ini agar tidak terulang dan
terulang lagi berkali-kali.
Perlu sama kita ketahui, seiring
berkembang pesatnya kemajuan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini
kiranya telah ditemukan bahwa pada otak manusia terdapat bagian yang disebut
dengan otak kanan dan otak kiri di mana masing-masing memiliki fungsi
tersendiri (khusus). Penemuan dan penelitian tersebut juga membuktikan bahwa
ternyata selama ini otak kiri para peserta didiklah yang sangat dominan kita
aktifkan dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Sementara otak kanan nyaris
sama sekali tiada digunakan.
Itulah salah satu penyebab mengapa
fenomena letih, lesu dan tak bergairah
serta bosan menerpa sebagian siswa kita di kala mengikuti pelajaran. Karena
otak kiri mereka terus dipacu untuk bekerja, sedangkan otak kanan tidak
dilibatkan. Akibatnya, otak kiri si anak bakal kelelahan dan akan menyerap
lebih banyak oksigen serta glukosa tubuhnya sehingga otak bagian kanan justru
menjadi kekurangan. Reaksi (kompensasi) spontan dari otak kananlah sesungguhnya
yang mereka perlihatkan.
Masih menurut penelitian dimaksud,
apabila penggunaan otak kiri seseorang lebih dominan maka belajar akan lebih
baik dimulai dari bagian per bagian baru secara keseluruhan. Sebaliknya, kalau
lebih dominan otak kanan maka belajar akan lebih baik dimulai dulu dari
keseluruhannya barulah kemudian bagian per bagian.
Oleh karena itu, kegiatan belajar
mengajar membutuhkan metoda yang melibatkan otak kiri dan otak kanan secara
seimbang. Menampilkan gambar-gambar, membuat gerakan-gerakan tertentu,
menyelinginya dengan cerita atau bahkan memutar dan memperdengarkan musik, film
dan sebagainya di sela aktifitas pembelajaran merupakan suatu bentuk yang
‘direkomendasikan’. Tentu saja cerita, musik dan film yang dimaksud adalah yang
mengandung nilai-nilai positif (kebaikan) dalam upaya memacu semangat belajar
dan kreatifitas para peserta didik. Sudahkah kita mencoba menerapkannya (?)***
*****************************************************
Motivasi Masih Berfungsi
Oleh : Drs.Halim Mansyur Siregar
Adalah sebuah kenyataan memilukan yang mesti kita hadapi selaku guru
bahwa akhir-akhir ini kemauan dan kesungguhan belajar para siswa (termasuk
putra-putri kita sendiri) benar-benar mengalami degradasi. Begitu jauhnya
menurun, bahkan hingga nyaris tak terlihat lagi. Acapkali mereka lebih asyik
menikmati tayangan acara-acara televisi atau keluyuran entah ke mana daripada
menekuni buku-buku pelajaran yang telah disediakan
Meski tanpa sebuah penelitian resmi, dapat diambil semacam kesimpulan
bahwa hal itu disebabkan oleh karena kurangnya motivasi yang mereka terima.
Baik dari para guru, apalagi dari orangtua mereka sendiri. Dengan kata lain,
motivasi mempunyai peranan yang sangat berarti untuk meningkatkan kemauan dan
kesungguhan siswa dalam belajar.
Bisa dikatakan bahwa motivasi merupakan faktor penentu bagaimana kita
melakukan segala sesuatu. Ia adalah dorongan jiwa yang dapat menumbuhkan semangat
dalam belajar dan bekerja. Ia mampu
menimbulkan kekuatan luar biasa pada
diri seseorang dalam upayanya meraih tujuan atau keinginan yang dicita-citakan.
Dengan motivasi pulalah maka seberat apapun rintangan bakal kita hadapi sekuat
tenaga dan kemampuan.
Setidaknya, motivasi seorang siswa
ketika belajar tentunya adalah untuk naik kelas ataupun lulus bagi yang telah
duduk di kelas tertinggi setiap jenjang pendidikan. Akan tetapi, sayangnya, fenomena
yang terjadi dalam belasan tahun terakhir ini kalau hanya untuk sekadar naik
kelas dan kelulusan memang anak-anak didik kita tidak perlu repot-repot
belajar. Boleh dibilang bahwa detik-detik penantian pembagian raport kenaikan
kelas atau pengumuman lulus tidaknya seorang siswa dalam ujian akhir yang
diikutinya bukan lagi menjadi sebuah momen yang begitu mendebarkan dan penuh
‘teka-teki’. Baik untuk guru, orangtua/wali murid, maupun pelajar itu sendiri.
Bahkan pemberlakuan sistem Ujian Nasionalpun tak berdampak kepada perubahan
sikap tersebut.
Cukup beralasan kalau ada yang mengatakan bahwa kondisi demikianlah pemicu
utama minimnya kemauan dan kesungguhan siswa dalam belajar. Singkat kata,
peserta didik merasa tak perlu belajar dengan penuh kesungguhan. Dan ironisnya,
sebagian gurupun ikut pula terseret arus keadaan.
Kelihatannya tak ada niat sama sekali untuk memperbaiki keadaan ini.
Malah ditengarai telah banyak disusupi berbagai pihak yang punya
‘pertimbangan-pertimbangan’ untuk kepentingan pribadi, nama baik sekolah atau
daerah dan sebagainya.
Percuma kita mencari-cari di mana letak kesalahannya. Sia-sia saja kita
berdebat dengan hati nurani sendiri. Namun yang pasti dan mesti diakui, sekecil
apapun itu, sesungguhnya kita juga telah menorehkan andil terhadap minimnya
kemauan dan kesungguhan belajar siswa yang justru seringkali kita sendiri pula
yang mengeluhkannya.
Wajar, karena selaku guru, kitalah yang setiap harinya bertatap muka dan
bertemu langsung dengan para siswa. Maka bagaimanapun caranya, kita
berkewajiban untuk terus dan
senantiasa memotivasi kemauan dan kesungguhan mereka dalam belajar.
Toh, sejatinya, hasil belajar siswa bukan cuma ditakar dengan deretan angka
belaka. Berarti, motivasi masih berfungsi.(*)
**********************************************************
Pendidikan serta Semangat Persatuan dan Kesatuan
Mengantarkan Indonesia Meraih Kemerdekaan
Oleh : Drs. Halim Mansyur Siregar
Dari sejumlah negara di dunia bisa dikatakan Indonesia termasuk salah satu yang
potensi disintegrasinya menduduki posisi
tertinggi. Penyebabnya antara lain adalah keanekaragaman etnik, bahasa, agama, budaya
dan sebagainya. Kesenjangan (ketidakseimbangan) berbagai kelompok masyarakat
ini di bidang ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan lain-lainnya tentu saja
dapat menjadi ‘bom waktu’ yang siap meledak jika tidak diantisipasi secara
bijak.
Bahkan ancaman tersebut sebenarnya telah ada sejak negeri kita lahir
sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Baik dengan latar belakang
ideologis maupun atas dalih separatis. Dan akhir-akhir ini (fenomena NII- KW
IX) seakan kembali mencuat ke permukaan.
Bagaimanapun sejarah telah membuktikan bahwa apabila kita terpecah belah
maka kita akan tetap menjadi bangsa yang terjajah. Jika jiwa dan semangat
persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia tidak kita miliki maka kita bakal kehilangan
kekuatan dan mudah diadu domba. Karenanya, persatuan dan kesatuan itu menjadi
sesuatu yang mutlak untuk dipertahankan. Singkat kata, agar menjadi bangsa yang
besar dan kuat serta disegani dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain maka kita
harus tetap bersatu padu. Semangat ‘Bhinneka
Tunggal Ika’ harus senantiasa terjaga. Salah satu upaya ke arah itu adalah
dengan mengenali dan mengenang kembali sejarah perjuangan bangsa kita di masa
lalu.
Di antara momen terpenting bersejarah tersebut ialah suatu hari yang kita
kenal dengan sebutan Hari Kebangkitan Nasional. Hari yang jatuh pada tanggal 20
Mei 1908 ini merupakan tonggak sejarah yang ditandai dengan tumbuhnya kembali
kesadaran berbangsa yang dilandasi oleh semangat persatuan dan kesatuan di
kalangan masyarakat Indonesia.
Dikatakan tumbuh kembali karena memang jauh sebelum itu sebenarnya kita sudah pernah merasakan hal serupa.
Proses panjang dimaksud sebetulnya telah dimulai sejak zaman Sriwijaya dan
Majapahit. Di era keemasannya kedua kerajaan ini memiliki wilayah pemerintahan
(kekuasaan) yang bahkan ada melewati
batas teritorial NKRI sekarang.
Dengan masuknya bangsa-bangsa Eropa, lambat laun kegemilangan itupun
menjadi sirna. Selanjutnya, masa-masa penderitaanlah yang datang menggantikan.
Tiada lain faktor utamanya adalah hampanya semangat persatuan dan kesatuan
akibat politik ‘devide et impera’ yang diterapkan pihak penjajah (bangsa-bangsa
Eropa) tadi.
Semua yang dialami pada masa-masa penjajahan tersebut menjadi catatan
tersendiri akan betapa penting dan berharganya nilai persatuan dan kesatuan
bagi tegak dan utuhnya Negara Republik Indonesia. Senjata, strategi perang
yang jitu dan berbagai kesaktian serta kekuatan lainnya terbukti tak dapat
mengantarkan Indonesia menuju kemerdekaan bila
tidak diiringi dengan semangat persatuan dan kesatuan. Kesadaran inilah yang
kelak menjadi kekuatan utama dan terbesar dalam perjuangan bangsa kita hingga
mencapai kemerdekaan.
Segenap komponen bangsa (terutama para pemuda) kemudian mengubah strategi
perjuangan yang dilakukan. Maka terbentuklah sebuah organisasi yang disebut
dengan Budi Utomo di mana kaum muda menjadikan pendidikan sebagai tambahan kekuatan guna melengkapi dan
menyempurnakan semangat persatuan dan kesatuan itu demi meraih kemerdekaan yang
dicita-citakan. Terbukti keduanya menyumbangkan kontribusi terbesar sehingga Indonesia
merdeka terwujud menjadi nyata.(*)