Selamat Datang di Blog Majalah Dinding Cahaya JIWA - Online

Minggu, 31 Maret 2013

Opini pada edisike-12



          Profil Kepemimpinan Kepala Sekolah
Oleh : Halim Mansyur Siregar

Sudah menjadi kodrat kehidupan bahwa dalam setiap kelompok masyarakat akan selalu ada sosok yang mendapat predikat selaku pemimpin. Ia diberi atau memperoleh wewenang yang mungkin melalui pendidikan/latihan, kekayaan, tradisi turun temurun maupun kemampuan alami untuk mengatur kelompok masyarakatnya itu. Bahkan tidak jarang pula wewenang dimaksud didapatkan dengan jalan ‘rekayasa’ yang pada akhirnya tipe kepemimpinannya pun biasanya senantiasa dipenuhi aroma serupa, yakni hanyut dengan kesibukan merekayasa.
Tiap-tiap satuan pendidikan (sekolah) juga merupakan suatu kelompok masyarakat. Dan  tentu saja memiliki seorang pemimpin. Sebutan untuk pemimpin kelompok ini lazim dikenal dengan istilah Kepala Sekolah.
Meski sulit dibuktikan, namun bukan rahasia umum bahwa seseorang yang hendak diangkat menjadi figur kepala sekolah harus rela ‘berkorban’ puluhan juta rupiah. Konon, kata banyak orang, jika hanya bermodalkan kemampuan yang cukup mumpuni saja ternyata tidak akan berarti apa-apa bila tak dilengkapi dengan ‘lampiran berkas’ yang satu itu. Maka jangan heran kalaupun seandainya kita menemukan tipe kepemimpinan kepala sekolah yang tiada sedikitpun bersinggungan dengan kemajuan institusi yang dipimpinnya. Atau jika ada, paling-paling sekadar ‘basa-basi’ saja. Akan tetapi tujuan utamanya ialah melanggengkan jalan bagi ambisi pribadi yang ia miliki.
Seandainya hal itu yang terjadi, tentulah berdampak kepada produktifitas kinerja para guru dan segenap staf/pegawai yang dipimpinnya. Mereka yang barangkali berpotensi memiliki cahaya dedikasi dan semangat kerja tergolong tinggi lambat laun akan meredup atau bahkan tak bersinar lagi. Jelas, muaranya ialah merosotnya kualitas kegiatan  belajar mengajar dan mutu pendidikan di sekolah tersebut. Inilah salah satu penyebab mengapa ada sekolah-sekolah yang walaupun situasi dan kondisinya relatif sama tetapi kualitasnya jauh berbeda. Bentuk kepemimpinan kepala sekolah-lah yang menorehkan andil di dalamnya.
Model kepemimpinan kepala sekolah pastilah sangat memengaruhi etos kerja para guru dan staf pegawai yang notabene adalah ‘anak buah’nya. Corak kepemimpinan yang ia terapkan akan mewarnai kondisi kinerja para bawahannya itu. Bahkan suasana KBM (kegiatan belajar mengajar) dan baik buruknya keadaan sebuah sekolah secara umum didominasi oleh gaya kepemimpinan sang kepala sekolah.
Jadi, profil kepemimpinan kepala sekolah yang baik haruslah mampu  memberdayakan dirinya maupun orang lain (guru dan staf/pegawai) untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dengan penuh tanggungjawab. Tentu saja diawali dari menyadari dan memahami serta mengendalikan dirinya sendiri, baru kemudian mengenali dan memahami serta mengendalikan dan menggerakkan para guru dan staf/pegawai selaku bawahannya. Dengan demikian akan terciptalah gairah dan semangat kerjasama serta hubungan yang serasi dan harmonis di sela-sela kesibukan menjalankan kewajiban yang dibebankan. ‘The right man on the right job’ adalah kata kuncinya. Ia merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah kita, di daerah kita dan bahkan di negara kita yang pada akhirnya akan dapat  menaikkan kembali citra pendidikan Indonesia di mata dunia.     
Kita patut bersyukur karena memiliki tipikal  kepala sekolah seperti yang penulis paparkan di atas. Tentu saja sebagai manusia biasa, beliaupun sangat mungkin untuk tidak luput dari kesalahan  atau kekurangan. Dan seandainyapun itu terjadi maka menjadi tugas dan kewajiban kita bersamalah untuk saling memperbaiki dan melengkapinya. (Penulis dedikasikan untuk Bapak Kepala Sekolah yang berulangtahun pada 3 Maret yang lalu)***

Opini sampai dengan edisi ke-11


OLEH: YULIE AYU UTARI


Masa yang paling indah adalah masa remaja
Masa yang paling menyedihkan adalah masa remaja.

Masa yang paling ingin dikenang adalah masa remaja.
Masa yang paling ingin dilupakan adalah masa remaja.

Ungkapan diatas rasanya sangat tepat ditulis ketika seseorang sudah berada pada kondisi dewasa. Karena pada masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan sukar untuk dilupakan. Pada masa itu, telah mengalami masa cinta – cintaan atau yang lebih popular dikenal yaitu “cinta monyet”. Istilah ini dipakai karena masa remaja adalah awal merasa mengagumi lawan jenis. Sang cowok akan mulai melirik para cewek dan sebalinya. Hal ini dikarenakan berfungsinya hormon gonadotrofik yang diproduksi oleh kelenjar hypothalamus adalah munculnya perasaan saling tertarik antara remaja pria dan wanita. Perasaan tertarik ini bisa meningkat pada perasaan yang lebih tinggi yaitu cinta romantis (romantic love) yaitu luapan hasrat kepada seseorang atau orang yang sering menyebutnya “jatuh cinta”.
Istilah “cinta monyet” sudah sering kita dengar sejak dahulu. Istilah ini dimunculkan karena yang mengalami rasa ini adalah kalangan remaja yang dianggap masih belum stabil dalam bertingkah laku dan ingin mencari jati diri sehingga belum pantas untuk jatuh cinta dalam makna yang sebenarnya dikalangan usia dewasa. Cinta monyet juga ditujukan pada remaja yang mengagumi orang yang lebih tua darinya – guru – disekitar kehidupannya. Walaupun dikatakan cinta monyet yang mengandung stigma cinta sementara atau cinta yang tidak serius. Namun, kalangan remaja sudah menganggap cinta monyet-nya itu adalah cinta sejatinya. Cinta yang patut dicari secepatnya dan diperjuangkan sekuat tenaga agar tidak tersisih dari pergaulan seusianya.

Berdasarkan paradigma tersebut, maka muncul permasalahan dikalangan remaja itu sendiri. Mereka akan merasa minder atau dianggap “kuper” ketika tidak punya pacar. Punya pacar adalah suatu keharusan bahkan hukumnya menjadi wajib bagi mereka. Mereka akan lebih mementingkan bagaimana mencari pacar atau cintanya ketimbang memusatkan pikiran untuk pendidikannya. Karena ketika mereka punya pacar, maka mereka akan diterima oleh pergaulan seusianya. Hingga dianggap “up to date”, keren dan gaul. Maka esensi dari cinta itu semakin kabur dari makna sejatinya.
Banyak remaja yang menjadi “galau” ketika mereka tidak memiliki pacar. Beragam cara dipakai agar mendapat pacar. Mulai bercerita pada teman, sering keluar rumah, main ke mall bahkan ada yang mempromosikan diri pada semua orang disekitarnya bahwa ia belum punya pacar dan ingin memiliki pacar. Kalau dahulu masa remaja yang memiliki rasa cinta pada lawan jenis, maka ia akan berusaha untuk menutupinya bahkan menghindar dari kondisi tersebut. Mereka merasa malu kalau “rasa” itu diketahui oleh orang tua dan guru. Mereka juga masih malu – malu bercerita (curhat) pada teman dekatnya. Karena akan dianggap aneh dan tabu. Tapi, fakta sekarang para remaja sudah tidak malu – malu lagi mengekspresikan apapun yang ada dihati tanpa memikirkan dampaknya kedepan. Tak lagi melihat atau memikirkan apakah pantas atau tidak. Bahkan remaja putri tak segan – segan untuk lebih dulu mengekspresikan rasa-nya pada remaja pria. Fenomena ini sangat melukai keberadaan nilai kesopanan yang ada dikalangan masyarakat kita yang masi menjunjung tinggi adat kesopanan.
Kondisi ini memunculkan paradigma remaja yang merasakan cinta monyet atau malah para monyetlah yang bercinta. Maksudnya, sudah tidak ada lagi dipakai logika atau norma dalam hal percintaan ini. Harga diri sudah tidak dipedulikan lagi. Semuanya pada bebas mengekspresikan hatinya. Padahal ketika ditanya sebenarnya apa arti cinta itu juga remaja belum paham. Tapi demi mendapatkan predikat “laku”, “ganteng”(remaja pria) dan “cantik” (remaja wanita) maka apapun dilakukan. Pembuktian yang membuktikan bahwa remaja masih pada kondisi tidak stabil dalam pembuktian jati diri.
Peran orang tua, pendidik dan lingkungan masyarakat sebaiknya lebih ditingkatkan. Orang tua harus mampu menjadi “sahabat” dari anak remajanya hingga lebih terbuka ketika ada masalah didunia remajanya. Pendidik lebih mampu memberikan panutan, motivasi dan pembelajaran tentang kehidupan seusianya. Lingkungan masyarakat memberikan teladan yang baik untuk generasi penerus bangsa yang tidak lemah dan terlena tetapi kuat dan mandiri.Remaja juga sebaiknya lebih terbuka pada orang tuanya dan keluarganya. Akan lebih indah dan bermakna dirimu dimata dunia ketika kamu mampu bertindak dan bersikap pada koridor yang seharusnya. Kejarlah dan capailah mimpimu dibidang pendidikanmu bukan mengejar cinta semu yang menjadikan dirimu tak seperti dirimu diusiamu. Kesemuanya akan memperbaiki kondisi remaja menjadi lebih baik dari segala problematikanya.*



                                   ***********************************



FENOMENA MEM-BOOMING-NYA BAHASA ALAY

 DI KALANGAN REMAJA
Oleh: YULIE AYU UTARI

Beberapa tahun belakangan hingga saat ini, semakin sering kita mendengar ujaran – kasih tau ga ya?, mau tau aja atau mau tau banget?, ciyus...?, miyapa..?, apa aja juga boleh – dari berbagai kalangan baik kalangan remaja, maupun usia dewasa. Bahkan, sering juga kita melihat atau menulis kata – kata yang berbeda – Humz, Ja, Yupz, Niyh, Tuch, Dech, Lom, abizzz, Maniezt, Kyeent, Tawh – dari bahasa Indonesia pada umumnya.Bahasa dan tulisan diatas sangat familiar didengar maupun dilihat oleh kita akhir – akhir ini. Bahkan sudah “membooming” hingga menjadi salah satu trend bahasa dan tulisan dikalangan remaja. Fenomena yang terjadi berawal dari semakin majunya teknologi sebut saja pesan singkat (SMS) yang menerapkan batas jumlah karakter huruf yang akan dikirimkan ke penerima pesan, sehingga muncul pengefektifan huruf dengan menyingkat kata sesingkat-singkatnya tanpa mengurangi makna dari kata tersebut. Sehingga pesan juga bisa tersampaikan.
Maka muncullah bahasa yang sering kita sebut “bahasa Alay”. Tak hanya bahasa, tulisan alay juga semakin sering menghiasi media sosial atau bahkan sejumlah iklan di media. Kata-kata itu ditulis dengan kombinasi huruf besar, kecil dan angka, sungguh jauh dari kaidah ejaan yang benar. Namun, semakin kebelakang malah semakin kebablasan. Bahkan fenomena penggunaan bahasa dan tulisan ini dianggap tend yang mampu membius kalangan usia sekolah mulai dari kalangan SD, SMP, hingga SMA. Karena dianggap mereka akan keren dan up to date ketika menggunakan bahasa dan tulisan Alay.

Apalagi ditambah semakin banyakanya media jejaring sosial “social networking” didunia maya – friendster, facebook, twitter – yang mengakomodir para penggunanya untuk bebas berekspresi dan mengabarkan setiap detik yang ingin dituliskan di “wall” mereka. Hingga membuat nama profilnya dengan nama yang tidak mencerminkan namanya. Padahal apapun yang mereka tulis maupun yang mereka munculkan menjadi foto profilnya, maka semuanya itu akan dilihat oleh orang banyak sesama pengguna dunia maya. Pastinya itu tanpa adanya filteralisasi oleh siapapun. Karena semua pengguna bebas mengakses apapun yang mereka inginkan. Ditambah lagi, seperti sengaja dibenarkan merebaknya bahasa dan tulisan tersebut oleh kalangan publik seperti kalangan selebritis yang banyak memiliki penggemar fanatik. Hal ini semakin menjadikan bahasa Alay seperti bahasa dan tulisan yang wajar dan akrab khususnya kalangan remaja. Lalu, seperti apakah sikap kita akan fenomena itu?
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Bramantio., SS. M.Hum menjelaskan gejala tersebut sebagai fenomena bahasa alay. “Alay merupakan suatu fenomena yang terjadi pada sekelompok remaja minoritas dan memiliki karakteristik yang unik. Bahasa yang mereka gunakan terkadang “menyilaukan” mata dan “menyakiti” telinga bagi masyarakat yang tidak terbiasa,” tuturnya saat diskusi  “Fenomena Bahasa Alay dan Jatidiri Generasi Muda Indonesia”.
Disini kita akan membahas dampak positif dan negatif penggunanan bahasa lisan maupun tulisan alay khususnya bagi remaja usia sekolah dan anak – anak usia balita. Dampak positif dari bahasa alay yakni sebagai media berekspresi bagi remaja yang memiliki kebutuhan untuk diperhatikan lebih. Mereka jadi lebih kreatif dan dinamis dalam menciptakan maupun menginovasi bahasa baku yang sudah ada. Para remaja jadi lebih kritis dan merasa lebih memiliki jati diri ketika mampu berekspresi lebih. Sementara, sisi negatif bahasa alay membuat bingung bagi orang yang tidak terbiasa berkomunikasi menggunakannya. Apalagi ketika semakin sering digunakan oleh remaja, maka mereka akan semakin melupakan bahasa Indonesia secara perlahan. Karena bahasa dan tulisan alay ini sangat jauh dari kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Parahnya lagi, ketika fenomena ini terus dibiarkan berkembang, maka pengguna bahasa dan tulisan alay ini semakin leluasa tanpa hambatan hingga malas untuk bertutur kata mengikuti tata bahasa yang seharusnya. Karena bahasa akan senantiasa terjaga ketika pengguna senantiasa menggunakan bahasa tersebut secara baik dan benar. Bukan tidak mungkin bahasa nasional kita – bahasa Indonesia - semakin lama akan semakin terganti oleh bahasa pergaulan atau bahasa alay.
Untuk itu, pada semua pihak baik keluarga, pendidik, maupun publik senantiasa memberikan pembelajaran penggunaan bahasa yang lebih baik. Kalangan remaja juga tidak terus “latah” menggunakan bahasa dan tulisan alay yang akan mengancam keberadaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Berbanggalah untuk tetap menggunakan bahasa  Indonesia yang baik dan benar. Jangan terbiasa dengan hal yang mudah dan enak untuk dipakai ataupun didengar. Sudah seharusnya, kita diharapkan menggunakan bahasa Indonesia sesuai kebutuhan dan tuntutan. Penggunaan bahasa Indonesia seharusnya tetap memperhatikan kaidah, peserta komunikasi, situasi, kondisi dan tujuan komunikasi. Dengan demikian keberadaan bahasa Indonesia akan tetap menjadi bahasa Nasional dan tidak terancam oleh keberadaan bahasa lain yang tidak jelas kaidahny


                                 *******************************************

Intelektual Sejati
Oleh : Drs. Halim Mansyur Siregar

Siapapun kita tentu sepakat jika predikat kelompok intelektual sesungguhnya melekat pada sosok-sosok ibu dan bapak guru. Selaku penyandang gelar yang  cukup terhormat itu maka sudah selayaknya pula para guru bersikap dan berperilaku serta           menjalankan fungsi yang mencerminkan keintelektualan. Dengan kata lain, para gu-ru merupakan sumber pengetahuan sekaligus menjadi figur panutan yang digugu dan ditiru oleh murid-murid mereka.
 Sebagai pengajar (sumber ilmu), sebenarnya setiap guru masih mempunyai kewajiban untuk terus meningkatkan wawasan keilmuan yang telah mereka dapatkan melalui pendidikan maupun pengalaman di lapangan. Dan selaku pendidik (panutan), gurupun harus senantiasa berupaya mengajak, membimbing dan mendorong murid-muridnya ke arah yang sama. Di sinilah kegemaran  membaca dan menulis (menyampaikan  gagasan, pengetahuan, pengalaman dan sebagainya dengan menggunakan bahasa tulisan) mengambil peran.
  Betapa pentingnya peranan kegemaran membaca, terlebih kebiasaan menulis tadi sehingga bisa dikategorikan merupakan budayanya kaum intelektual. Aktifitas baca-tulis dianggap mewakili kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian hari semakin tinggi. Artinya, tingkat intelektualitas seseorang dapat dilihat dari seberapa gemar ia membaca dan seberapa sering pula ia membuat tulisan, terutama jika tulisan-tulisannya kemudian juga diterbitkan oleh media massa berupa koran, majalah dan sebagainya.
 Wajar-wajar saja pemikiran di atas. Logikanya, sejak seseorang (di masa balita) mempunyai kemampuan bicara, tentulah ia mampu mengutarakan dan mengungkapkan   keinginan, pengetahuan atau pengalaman dan hal-hal lain yang terjadi pada dirinya dengan bertutur kata secara lisan. Sementara memaparkan melalui tulisan barangkali baru dipelajari setelah duduk di bangku sekolah dasar nanti untuk selanjutnya akan terus diasah pada jenjang-jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
 Di samping itu, tentunya penulis menempati posisi yang lebih tinggi daripada pembaca. Penulis adalah seumpama guru yang mengajari (memberi informasi), sedangkan pembaca laksana para siswa yang menyerap informasi dimaksud. Baik informasi mengenai kejadian-kejadian tertentu, penemuan-penemuan teknologi baru, gagasan-gagasan penyelesaian masalah yang nyaris menemui jalan buntu maupun hal-hal lain yang memang dirasa perlu.
 Pendek kata,  menulis adalah suatu perbuatan mulia. Tentu saja apabila tulisan yang dihasilkan berguna  untuk kebaikan masyarakat (pembaca), terutama dalam rangka  menambah khazanah wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun manfaat-manfaat positif lainnya yang berfaedah  bagi umat manusia.
 Yang jelas, aktifitas menulis akan memberikan dampak yang cukup signifikan kepada berbagai kalangan. Golongan  pembaca semakin luas wawasannya. Media massa ikut berkembang atas tulisan yang kita sumbang. Anak-anak didik tidak hanya berkutat pada buku-buku pelajaran yang terkadang   kaku dan kering kerontang. Penulisnya pun tak jarang bisa memperoleh uang jika tulisannya dimuat (diterbitkan) pada rubrik atau di media massa yang memberlakukan ketentuan demikian.
 Semoga uraian dalam tulisan ini menggugah hati komunitas guru selaku pemangku profesi yang mengaku dan diakui sebagai kaum intelektual untuk ikut berpartisipasi meramaikan dunia kepenulisan. Semakin berminat menulis dan semakin produktif menghasilkan tulisan berarti kita memang intelektual sejati.(*)

               ************************************************************* 

       Kunci Sukses Itu Adalah Mampu Mengelola Waktu
                            Oleh : Halim M. Siregar
         
          ‘Time is money’ (waktu adalah uang). Demikian pepatah orang Inggris. Orang Arab lain lagi. ‘Alwaktu Ka-asshaif’ (waktu itu seumpama pedang). Begitu pepatahnya. Kedua idiom ini mengisyaratkan tentang betapa berartinya ‘sang waktu’ bagi mereka.
          Cara pandang orang Inggris (juga orang-orang barat pada umumnya) mungkin menakar keberhasilan dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini ialah dengan uang yang didapatkan. Artinya, jika ingin memperoleh uang (kesuksesan) maka harus pandai-pandai menggunakan waktu. Sebaliknya, bila tidak maka waktulah yang bakal menguras pundi-pundi uang mereka.
          Sementara bangsa-bangsa Arab yang sejak dahulu kala terkenal ‘heroik’ dan berjiwa ‘militan’ barangkali menganggap kemampuan memanfaatkan waktu laksana ajang pertarungan antara hidup dengan mati. Singkatnya, siapa yang pandai menggunakan waktu maka mereka akan selamat dan keluar sebagai pemenang. Sedangkan bagi yang menyia-nyiakannya maka orang tersebutlah yang akan merasakan tajamnya mata pedang dan menjadi pecundang (pihak yang kalah) di arena pertarungan.
          Sebagai bangsa dan negara berkembang (developing country), kalau ingin maju maka sudah selayaknya kita tidak membuang-buang waktu dengan percuma. Kita bahkan harus ‘mengadopsi’ cara pandang yang meyakini bahwa waktu itu merupakan sesuatu yang memiliki essensi dan faedah yang begitu besar. Dengan kata lain, setiap waktu yang tersedia mestilah kita pergunakan seoptimal mungkin.
          Selain dari apa yang telah disebutkan di atas, sesungguhnya essensi waktu jauh lebih vital daripada harta. Sebab harta seandainya hilang, masih ada kemungkinan untuk mencari atau menggantinya. Sedangkan waktu, apabila ia telah hilang (berlalu) maka tentu sudah tertutup peluang untuk mencari (mengulanginya) lagi.
Detik demi detik, menit, jam, hari dan satuan-satuan waktu lainnya akan terus mengalir. Masa balita, kanak-kanak dan remaja tak akan bisa terulang kembali dalam kehidupan kita di dunia ini.
          Oleh karena itu kita harus benar-benar mampu mengatur dan mengelola waktu dengan sebaik-baiknya. Kemampuan mengatur, mengendalikan dan mengelola waktu secara baik inilah  yang sangat urgen untuk ditanamkan ke lubuk hati kita yang paling dalam (terutama para generasi muda) demi terwujudnya peningkatan kualitas kepribadian masing-masing dan bangsa Indonesia pada umumnya.
          Sebagai bentuk aplikasi dari apa yang telah diuraikan itu maka sejak saat ini mari kita isi ‘episode demi episode’ kehidupan yang sedang kita jalani sekarang dan akan kita lalui nanti dengan hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat, nusa dan bangsa serta agama tentunya.
          Belajar, bekerja dan beribadah merupakan beberapa contoh kegiatan yang tidak boleh kita tinggalkan dalam mengarungi arus perjalanan sang waktu. Itulah kunci yang harus kita miliki jika ingin memasuki ‘istana kesuksesan’. Baik dalam kehidupan di muka bumi ini maupun di akhirat nanti. (*)

               **************************************************

Mengisi Masa Liburan
Oleh : Drs.Halim Mansyur Siregar

            Dalam hitungan waktu yang tak begitu lama lagi kita akan memasuki masa ‘jeda’ atau yang akrab dikenal dengan libur kenaikan kelas. Dan jujur saja, momen libur panjang semacam itu termasuk yang paling ditunggu-tunggu. Baik oleh para siswa maupun bapak dan ibu guru.
            Beragam rencana mungkin telah memenuhi otak di kepala dan hati di dada. Barangkali  piknik ke luar kota bersama keluarga atau bersilaturahmi mengunjungi sanak saudara yang jarang-jarang baru bisa berjumpa maupun hasrat dan keinginan lain yang sebelumnya tertunda. Juga bagi yang tak ke mana-mana alias di rumah saja  tentu bisa pula mengisinya dengan kegiatan-kegiatan ‘penyegaran’ tanpa biaya, semisal memperbanyak intensitas berolah raga, menulis atau membaca dan berbagai hal positif lainnya.
Memang, suasana libur sangatlah berpengaruh kepada jiwa dan raga setiap orang. Menjadi  penyeimbang terhadap rutinitas bersekolah ataupun menggeluti pekerjaan sehari-hari. Sebab,  segala aktivitas yang dilakukan terus-terusan dalam waktu yang cukup lama pastilah menimbulkan rasa bosan, jenuh, letih dan sebagainya. Maka setidaknya kondisi demikian bisa sedikit mereda di musim liburan, oleh karena kita mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk menyelinginya dengan banyak kegiatan  di luar suasana formal sekolah atau pekerjaan sehari-hari.
Akan tetapi, tak jarang, masa-masa seperti itu hanya digunakan untuk hal-hal yang tidak menentu oleh anak-anak (didik) kita. Di sinilah andil orangtua dan para guru memegang peranan dalam rangka mengarahkan mereka kepada kegiatan-kegiatan positif  dan lebih bermanfaat.
Masa liburan bukan berarti menjadi tempat buat bermalas-malasan atau hura-hura tak karuan, apalagi sampai menjurus kepada tindak kejahatan. Justru momentum penyegaran pikiran ini semestinya dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk dapat menumbuhkembangkan ide, kreativitas, bakat dan keterampilan yang kelak berfaedah untuk menunjang  kehidupan mereka pada saat diperlukan. Bahkan, sebetulnya,  libur juga  tidak harus sepenuhnya menjauh dari lingkungan sekolah.
Bentuk-bentuk kegiatan ekstrakurikuler seumpama pramuka, Palang Merah Remaja, kelompok-kelompok penelitian ilmiah, sanggar-sanggar seni dan semacamnya dapat berfungsi sebagai sarana penyaluran kreatifitas dan produktifitas para siswa sesuai minat dan bakat yang mereka miliki dalam mengisi masa-masa liburan nanti. Selain sebagai sarana pembinaan keterampilan, juga bisa menjadi tempat ‘refreshing’ tersendiri.
Akan sangat bermanfaat apabila dalam masa liburan pun para tunas bangsa itu memperoleh tambahan wawasan, keterampilan dan ilmu pengetahuan. Namun tentu saja dengan suasana rileks dan tanpa sedikitpun aroma keterpaksaan. Melainkan murni dari lubuk hati para peserta didik sendiri. Guru hanyalah bersifat membantu, membimbing dan  mengarahkan mereka.(*) 

                    **********************************************************

Menyeimbangkan Fungsi Otak Kiri dan Kanan Dalam Pembelajaran
Oleh : Drs.Halim Mansyur Siregar

            Di tengah berlangsungnya KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) barangkali ibu dan bapak guru pernah atau bahkan sering menjumpai ada beberapa siswa yang melakukan hal-hal semisal menghayal, menggambar-gambar sesuatu di buku, iseng mengganggu teman sebangku maupun perbuatan-perbuatan lain yang sebetulnya tidak perlu dan tak ada kaitannya dengan topik pembelajaran saat itu.
            Beragam pula mungkin reaksi yang kita tunjukkan dalam menyikapi ataupun mengatasi tingkah polah anak-anak didik tadi. Boleh jadi ada yang marah dibuatnya. Atau ada juga yang sekadar mengingatkan dengan lemah lembut kepada mereka agar kembali fokus terhadap pelajaran. Bahkan ada pula yang ‘cuek bebek’ alias pura-pura tidak tahu dan masa bodoh dengan keadaan demikian. Serta banyak lagi kemungkinan lain yang ditimbulkan.
            Apapun tindakan tersebut, sepanjang bersifat dan berniat untuk mendidik mereka ke arah yang lebih baik tentulah manusiawi dan sah-sah saja. Namun selaku pendidik, sebaiknya kitapun mesti introspeksi diri daripada larut terbawa emosi. Senantiasa berpikir positif dan selalu berupaya mencari serta menemukan akar permasalahannya untuk kemudian memperoleh jalan keluar mengatasi situasi dan kondisi seperti ini agar tidak terulang dan terulang lagi berkali-kali.
            Perlu sama kita ketahui, seiring berkembang pesatnya kemajuan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini kiranya telah ditemukan bahwa pada otak manusia terdapat bagian yang disebut dengan otak kanan dan otak kiri di mana masing-masing memiliki fungsi tersendiri (khusus). Penemuan dan penelitian tersebut juga membuktikan bahwa ternyata selama ini otak kiri para peserta didiklah yang sangat dominan kita aktifkan dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Sementara otak kanan nyaris sama sekali tiada digunakan.
            Itulah salah satu penyebab mengapa fenomena letih,  lesu dan tak bergairah serta bosan menerpa sebagian siswa kita di kala mengikuti pelajaran. Karena otak kiri mereka terus dipacu untuk bekerja, sedangkan otak kanan tidak dilibatkan. Akibatnya, otak kiri si anak bakal kelelahan dan akan menyerap lebih banyak oksigen serta glukosa tubuhnya sehingga otak bagian kanan justru menjadi kekurangan. Reaksi (kompensasi) spontan dari otak kananlah sesungguhnya yang mereka perlihatkan.
            Masih menurut penelitian dimaksud, apabila penggunaan otak kiri seseorang lebih dominan maka belajar akan lebih baik dimulai dari bagian per bagian baru secara keseluruhan. Sebaliknya, kalau lebih dominan otak kanan maka belajar akan lebih baik dimulai dulu dari keseluruhannya barulah kemudian bagian per bagian.
            Oleh karena itu, kegiatan belajar mengajar membutuhkan metoda yang melibatkan otak kiri dan otak kanan secara seimbang. Menampilkan gambar-gambar, membuat gerakan-gerakan tertentu, menyelinginya dengan cerita atau bahkan memutar dan memperdengarkan musik, film dan sebagainya di sela aktifitas pembelajaran merupakan suatu bentuk yang ‘direkomendasikan’. Tentu saja cerita, musik dan film yang dimaksud adalah yang mengandung nilai-nilai positif (kebaikan) dalam upaya memacu semangat belajar dan kreatifitas para peserta didik. Sudahkah kita mencoba menerapkannya (?)*** 

                             *****************************************************

Motivasi Masih Berfungsi
Oleh : Drs.Halim Mansyur Siregar

Adalah sebuah kenyataan memilukan yang mesti kita hadapi selaku guru bahwa akhir-akhir ini kemauan dan kesungguhan belajar para siswa (termasuk putra-putri kita sendiri) benar-benar mengalami degradasi. Begitu jauhnya menurun, bahkan hingga nyaris tak terlihat lagi. Acapkali mereka lebih asyik menikmati tayangan acara-acara televisi atau keluyuran entah ke mana daripada menekuni buku-buku pelajaran yang telah disediakan  
Meski tanpa sebuah penelitian resmi, dapat diambil semacam kesimpulan bahwa hal itu disebabkan oleh karena kurangnya motivasi yang mereka terima. Baik dari para guru, apalagi dari orangtua mereka sendiri. Dengan kata lain, motivasi mempunyai peranan yang sangat berarti untuk meningkatkan kemauan dan kesungguhan siswa dalam belajar.
Bisa dikatakan bahwa motivasi merupakan faktor penentu bagaimana kita melakukan segala sesuatu. Ia adalah dorongan jiwa yang dapat menumbuhkan semangat dalam belajar dan bekerja.  Ia mampu menimbulkan kekuatan luar biasa  pada diri seseorang dalam upayanya meraih tujuan atau keinginan yang dicita-citakan. Dengan motivasi pulalah maka seberat apapun rintangan bakal kita hadapi sekuat tenaga dan kemampuan.
 Setidaknya, motivasi seorang siswa ketika belajar tentunya adalah untuk naik kelas ataupun lulus bagi yang telah duduk di kelas tertinggi setiap jenjang pendidikan. Akan tetapi, sayangnya, fenomena yang terjadi dalam belasan tahun terakhir ini kalau hanya untuk sekadar naik kelas dan kelulusan memang anak-anak didik kita tidak perlu repot-repot belajar. Boleh dibilang bahwa detik-detik penantian pembagian raport kenaikan kelas atau pengumuman lulus tidaknya seorang siswa dalam ujian akhir yang diikutinya bukan lagi menjadi sebuah momen yang begitu mendebarkan dan penuh ‘teka-teki’. Baik untuk guru, orangtua/wali murid, maupun pelajar itu sendiri. Bahkan pemberlakuan sistem Ujian Nasionalpun tak berdampak kepada perubahan sikap tersebut.
Cukup beralasan kalau ada yang mengatakan bahwa kondisi demikianlah pemicu utama minimnya kemauan dan kesungguhan siswa dalam belajar. Singkat kata, peserta didik merasa tak perlu belajar dengan penuh kesungguhan. Dan ironisnya, sebagian gurupun ikut pula terseret arus keadaan.
Kelihatannya tak ada niat sama sekali untuk memperbaiki keadaan ini. Malah ditengarai telah banyak disusupi berbagai pihak yang punya ‘pertimbangan-pertimbangan’ untuk kepentingan pribadi, nama baik sekolah atau daerah dan sebagainya.
Percuma kita mencari-cari di mana letak kesalahannya. Sia-sia saja kita berdebat dengan hati nurani sendiri. Namun yang pasti dan mesti diakui, sekecil apapun itu, sesungguhnya kita juga telah menorehkan andil terhadap minimnya kemauan dan kesungguhan belajar siswa yang justru seringkali kita sendiri pula yang mengeluhkannya.
Wajar, karena selaku guru, kitalah yang setiap harinya bertatap muka dan bertemu langsung dengan para siswa. Maka bagaimanapun caranya, kita berkewajiban untuk terus dan  senantiasa  memotivasi  kemauan dan kesungguhan mereka dalam belajar. Toh, sejatinya, hasil belajar siswa bukan cuma ditakar dengan deretan angka belaka. Berarti, motivasi masih berfungsi.(*) 

                  **********************************************************

Pendidikan serta Semangat Persatuan dan Kesatuan                       
 Mengantarkan Indonesia Meraih Kemerdekaan

Oleh : Drs. Halim Mansyur Siregar  

Dari sejumlah negara di dunia bisa dikatakan Indonesia termasuk salah satu yang potensi disintegrasinya  menduduki posisi tertinggi. Penyebabnya antara lain adalah keanekaragaman etnik, bahasa, agama, budaya dan sebagainya. Kesenjangan (ketidakseimbangan) berbagai kelompok masyarakat ini di bidang ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan lain-lainnya tentu saja dapat menjadi ‘bom waktu’ yang siap meledak jika tidak diantisipasi secara bijak. 
Bahkan ancaman tersebut sebenarnya telah ada sejak negeri kita lahir sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Baik dengan latar belakang ideologis maupun atas dalih separatis. Dan akhir-akhir ini (fenomena NII- KW IX) seakan kembali mencuat ke permukaan.
Bagaimanapun sejarah telah membuktikan bahwa apabila kita terpecah belah maka kita akan tetap menjadi bangsa yang terjajah. Jika jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia  tidak kita miliki maka kita bakal kehilangan kekuatan dan mudah diadu domba. Karenanya, persatuan dan kesatuan itu menjadi sesuatu yang mutlak untuk dipertahankan. Singkat kata, agar menjadi bangsa yang besar dan kuat serta disegani dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain maka kita harus tetap bersatu padu. Semangat  ‘Bhinneka Tunggal Ika’ harus senantiasa terjaga. Salah satu upaya ke arah itu adalah dengan mengenali dan mengenang kembali sejarah perjuangan bangsa kita di masa lalu.
Di antara momen terpenting bersejarah tersebut ialah suatu hari yang kita kenal dengan sebutan Hari Kebangkitan Nasional. Hari yang jatuh pada tanggal 20 Mei 1908 ini merupakan tonggak sejarah yang ditandai dengan tumbuhnya kembali kesadaran berbangsa yang dilandasi oleh semangat persatuan dan kesatuan di kalangan masyarakat Indonesia.
Dikatakan tumbuh kembali karena memang jauh sebelum itu sebenarnya  kita sudah pernah merasakan hal serupa. Proses panjang dimaksud sebetulnya telah dimulai sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit. Di era keemasannya kedua kerajaan ini memiliki wilayah pemerintahan (kekuasaan) yang bahkan ada  melewati batas teritorial NKRI sekarang.
Dengan masuknya bangsa-bangsa Eropa, lambat laun kegemilangan itupun menjadi sirna. Selanjutnya, masa-masa penderitaanlah yang datang menggantikan. Tiada lain faktor utamanya adalah hampanya semangat persatuan dan kesatuan akibat politik ‘devide et impera’ yang diterapkan pihak penjajah (bangsa-bangsa Eropa) tadi.
Semua yang dialami pada masa-masa penjajahan tersebut menjadi catatan tersendiri akan betapa penting dan berharganya nilai persatuan dan kesatuan bagi tegak dan utuhnya Negara Republik Indonesia. Senjata, strategi perang yang jitu dan berbagai kesaktian serta kekuatan lainnya terbukti tak dapat mengantarkan  Indonesia menuju kemerdekaan bila tidak diiringi dengan semangat persatuan dan kesatuan. Kesadaran inilah yang kelak menjadi kekuatan utama dan terbesar dalam perjuangan bangsa kita hingga mencapai kemerdekaan.
Segenap komponen bangsa (terutama para pemuda) kemudian mengubah strategi perjuangan yang dilakukan. Maka terbentuklah sebuah organisasi yang disebut dengan Budi Utomo di mana kaum muda menjadikan pendidikan sebagai tambahan kekuatan guna melengkapi dan menyempurnakan semangat persatuan dan kesatuan itu demi meraih kemerdekaan yang dicita-citakan. Terbukti keduanya menyumbangkan kontribusi terbesar sehingga Indonesia merdeka terwujud menjadi nyata.(*)  

Susunan Redaksi mulai edisi ke-3


                           Majalah Dinding “Cahaya JIWA”

Pendiri / Pemimpin Umum      :     Aser Tambun, S.Pd. M.Pd.
Wakil Pemimpin Umum          :     Bachtiar Damanik, M.Pd.
Pemimpin Redaksi /
Penanggung Jawab Isi             :     Drs. Halim Mansyur Siregar
Wakil Pemimpin Redaksi       :     Suriadi, S.Pd.
Sekretaris Redaksi                  :     Susiana

Dewan Redaktur                    :  -Drs. Halim Mansyur Siregar (Opini)
                                                 -Terang Ario Dynata, S.Pd. (Warta Adiwiyata)
                                                 -Maya Sri Patmi, S.Pd. (Cerpen & Puisi)
                                                 -Roy Darma, S.Pd. (Sains & Teknologi)
                                                 -Vera E. Br. Karo, S.Pd. (Keterampilan & Seni)
                                                 -Zulham Syahputra (Serba-Serbi)
                                                 -Susiati, S.Pd. (Iklan & Komentar)
                                                 -Muhammad Hamsa, S.Pd. (Pengetahuan Umum)

Fotografer /
Koordinator Liputan Kegiatan :  -Yulie Ayu Utari, S.Pd. (guru&staf/pegawai)                    
                                                    -Zulham Syahputra (kegiatan siswa)

Keuangan                                     :      Yulie Ayu Utari, S.Pd.
Penanggung Jawab Fisik /
Bangunan Mading                        :      -Ruminah Nainggolan, S.Pd.
                                                           -M. Saidun Purba
                                                           -Sumardi
                                                           -Pengurus OSIS SMPN-2 Pegajahan

Alamat Redaksi / Tata Usaha    :        SMP Negeri-2 Pegajahan
           Desa Pondok Tengah, Kecamatan Pegajahan,                                                                                          Kabupaten Serdang Bedagai-SUMUT

Salam Redaksi pada edisi ke-3


Salam ceria para pembaca setia Mading Cahaya JIWA. Mudah-mudaha kita semua tetap sehat dan baik-baik saja serta dapat melaksanakan segala aktifitas sebagaimana mestinya! Semoga juga kegiatan-kegiatan yang kita lakukan bukanlah karena keterpaksaan! Akan tetapi ia justru menjadi sebentuk kebutuhan yang mampu menghadirkan kebahagiaan, kegembiraan dan keceriaan dalam menjalani hari demi hari yang kita lalui.
            Pembaca yang budiman…
            Berbicara tentang hari, jika kita cermati, rupanya pada bulan November ini kita memiliki beberapa hari besar / bersejarah yang selalu diperingati / dirayakan setiap tahunnya. Yang pertama, beberapa hari lalu, yaitu tanggal 10 November. Ini kita kenal sebagai Hari Pahlawan. Sedangkan yang kedua adalah pada tanggal 15 November nanti. Ternyata hari itu bertepatan dengan Tahun Baru Hijriah bagi umat Islam. (Selamat tahun baru Hijriah bagi ibu / bapak guru dan staf / pegawai serta siswa-siswi kami yang beragama Islam). Sementara yang ketiga, beberapa hari ke depan, yakni tanggal 25 November. Kita memperingati / merayakannya sebagai hari ulang tahun PGRI atau yang lebih akrab kita sebut sebagai Hari Guru. Dan yang terakhir (keempat) adalah tanggal 29 November. Ini ‘dinobatkan’ sebagai Hari Korpri.
            Nah, atas dasar itulah (momentum bulan November yang ‘diwarnai’ dengan banyaknya hari besar / bersejarah ini) Mading kesayangan dan kebanggaan kita bersama (Cahaya JIWA) memberanikan diri untuk tampil dengan ‘rubrik-rubrik’ yang lebih banyak pula. Beberapa rubrik sebelumnya tetap ada dan dipertahankan. Sedangkan satu di antaranya mengalami ‘penyesuaian’ (berganti nama) dan sekaligus ‘pemekaran’. Sementara selebihnya adalah berupa penambahan-penambahan. Tentu saja tujuan kami ialah agar dapat melibatkan lebih banyak orang untuk berpartisipasi dalam mengisi dan mengelolanya. Dengan demikian maka hasil-hasil karya yang dipajang / diterbitkan juga bisa lebih banyak dan menjadi lebih bervariasi.
            Sekarang, bagaimana dengan kalian (siswa-siswi SMP Negeri-2 Pegajahan)? Sudah punya ‘kado istimewa’ untuk diberikan kepada ibu dan bapak guru kesayangan masing-masing pada Hari Guru nanti? He-he-he…, jangan terlalu dipaksakan, ya! Tapi kalau ingin menunjukkan ‘tanda bakti’ kepada ibu dan bapak guru, waaa…hh, perbuatan yang sangat bagus itu!!! Toh, sosok-sosok ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’ itulah orangtuamu di sekolah. Dengan kata lain, berbakti kepada mereka berarti juga berbakti kepada orangtua.
            Okelah, sampai di sini dulu saja. Silahkan membaca dan melihat rubrik-rubrik lainnya! Salam ceria kembali dari kami.

                                                                                                (REDAKSI)

Opini pada edisi ke-3


Sekilas Tentang Pendidikan Karakter
Oleh : Drs.Halim Mansyur Siregar

 Salah satu hal penting yang dicanangkan oleh Bapak M. Nuh selama  beliau menduduki jabatan sebagai Mendiknas-RI adalah tentang perlunya Pendidikan Karakter bagi para siswa.        
            Apa yang disampaikan oleh petinggi Kementerian Pendidikan Nasional kita itu sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Sebab sejatinya pendidikan memang merupakan proses membangun karakter para peserta didik, yakni membentuk sikap dan perilaku-perilaku positif pada diri mereka. Walau harus diakui, dalam prakteknya justru tidak sedikit para guru yang lebih cenderung menerapkan ‘pengajaran’ daripada ‘pendidikan’. Lebih mementingkan pencapaian target kurikulum ketimbang melakukan hal-hal yang sifatnya benar-benar mendidik.
            Lalu, sikap dan perilaku bagaimanakah sebetulnya yang harus ditanamkan oleh kalangan pendidik tersebut kepada para muridnya? Sayang, hal ini tidak dijelaskan secara terperinci. Baik oleh Pak Menteri sendiri, apalagi kelompok-kelompok lain yang terkesan hanya ‘membeo’ namun sok piawai menuturkan kata-kata ‘Pendidikan Karakter’ tadi.
            Menurut hemat penulis, karakter (sikap dan perilaku) yang dimaksud, antara lain ialah:

 1.Takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa
Sikap dan perilaku paling utama yang diharapkan terbentuk menjadi karakter pada diri setiap  peserta didik tentunya  adalah takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa. Sebab  sikap dan perilaku ini sekaligus menjadi landasan bagi pembentukan karakter-karakter positif lainnya.
Mengajak anak-anak didik menjalankan  ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing dan melarang mereka melanggar ajaran agama dan kepercayaannya itu pada setiap waktu dan kesempatan adalah sebuah langkah untuk membentuk karakter ketakwaan  kepada Tuhan Yang Mahaesa. Tentu saja ini tak akan berbuah apa-apa jika hanya sekadar lewat kata-kata. Tetapi para guru harus menerapkannya melalui contoh keteladanan. Setiap guru harus pula  menunjukkan dan melakukan hal itu di depan para muridnya.

2. Berjiwa Pancasila  
Sikap dan perilaku berjiwa Pancasila tak kalah urgennya untuk ditanamkan menjadi karakter yang mesti dimiliki setiap peserta didik. Karakter berjiwa Pancasila merupakan perisai yang akan melindungi keutuhan wilayah NKRI dari rongrongan yang ingin memecah-belah persatuan dan kesatuan kita. Baik yang datangnya dari luar maupun berasal dari dalam negeri sendiri.
Setiap siswa harus mempunyai karakter yang senantiasa saling menghormati satu sama lain, meskipun mereka berbeda agama,  suku dan sebagainya. Baik terhadap teman, guru dan warga sekitar mereka atau bahkan kepada siapa  saja.

3. Berakhlak mulia
Karakter takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa dan berjiwa Pancasila tentunya akan berkorelasi pula dengan akhlak-akhlak yang mulia, di antaranya yaitu:
a.       Jujur, dapat dipercaya dan  senantiasa menepati janjinya
b.      Hormat dan berbakti kepada guru dan orangtua
c.       Tekun belajar dan giat berusaha
d.      Sabar dan pantang menyerah
e.       Disiplin dan menghargai waktu
f.       Saling menghormati sesama teman
g.      Rendah hati dan selalu bersahaja
h.      Dermawan dan gemar memberikan pertolongan
i.        Dan lain sebagainya.
Itulah barangkali sekilas gambaran tentang karakter-karakter yang dimaksudkan oleh Bapak Mendiknas-RI selaku penanggungjawab tertinggi kualitas pendidikan di negeri ini. Apa dan bagaimana cara membentuk sikap dan  perilaku para peserta didik yang demikian, tentu ibu dan bapak gurulah yang lebih tahu dan mengerti situasi dan kondisinya di lapangan.(*) 

Salam Redaksi pada edisi ke-2


Selamat berjumpa kembali warga SMP Negeri-2 Pegajahan yang kami cintai, terutama siswa-siswi kami, para generasi muda penerus cita-cita dan harapan bangsa.
Wah, gak terasa ya, seminggu begitu cepat berlalu. Itu berarti masa pemajangan/penerbitan Mading Cahaya JIWA untuk edisi pertama telah mencapai limit waktu. Redaksi sudah harus mengarsipkan semua karya tulis maupun karya lukis/foto yang sebelumnya terpampang di situ dan menggantinya dengan hasil-hasil karya yang baru.
Oya, mungkin Redaksi perlu menyampaikan bahwa karya tulis yang baik bukan berarti harus menggunakan istilah/kata-kata yang ‘sok gaul’. Juga tidak harus ‘latah’ alias ikut-ikutan ‘ke-Jakarta-Jakarta-an’ kok. Gunakan saja bahasa Indonesia yang baik dan benar! Pasti enggak kalah seru.
Okelah, Redaksi tidak akan memperpanjang komentar lagi. Silahkan baca dan lihat-lihat saja sendiri!


                                                                                           (Redaksi)

Opini pada edisi ke-2


Mencari Format Ideal Sistem Pendidikan Nasional
Oleh : Drs. Halim Mansyur Siregar

Salah satu aspek terpenting dalam hidup dan kehidupan manusia di atas dunia adalah berkenaan dengan masalah pendidikan. Karenanya, ‘obrolan’ seputar hal itu mungkin tidak akan pernah tuntas untuk dibahas. Bahkan penuturnya-pun mampu menembus lintas batas.
            Dewasa ini boleh dikatakan bahwa semua kelompok masyarakat terkesan piawai jika diajak membicarakan hal-hal menyangkut dunia pendidikan dengan berbagai problematikanya. Entah itu tentang biaya yang mesti dikeluarkan. Atau berkenaan dengan sekolah-sekolah pilihan untuk memasuki jenjang yang lebih tinggi. Atau bahkan berkaitan dengan kurikulum, sistem kelulusan dan sebagainya.
            Harus pula kita akui bahwa sesungguhnya sistem pendidikan nasional yang sedang dan pernah kita terapkan belumlah berada pada format yang ideal. Sebab, menurut hemat penulis, format ideal sistem pendidikan nasional( agar mencapai hasil yang optimal) minimal mesti memenuhi kriteria seperti tercantum di bawah ini.

1.      Mampu membangun kemandirian        
            Format ideal sistem pendidikan nasional haruslah mampu membangun sikap mental yang penuh kemandirian. Membentuk manusia-manusia Indonesia yang nantinya setelah dewasa akan  sanggup berusaha sendiri tanpa mesti ‘mengantri’ hanya karena semata-mata hendak menjadi pegawai negeri.       
            Untuk itu maka pengadaan segala sarana dan prasarana, terutama pembangunan laboratorium (IPA, Matematika, Bahasa dan sebagainya) sudah tak dapat lagi ditunda-tunda. Jangan sampai ada sekolah yang telah berdiri dan beroperasi selama puluhan tahun, namun tak memiliki laboratorium satu unitpun. 
           
2.      Menumbuhkan rasa solidaritas dan saling menghormati  
            Meskipun kemandirian perlu ditanamkan ke dalam lubuk hati setiap peserta didik, namun para generasi penerus cita-cita bangsa itu harus pula dibekali dengan menumbuhkan rasa solidaritas (semangat kerjasama) dan  saling menghormati. Tujuannya tiada lain agar mereka terbiasa mengapresiasi dan berempati kepada orang lain serta menjauhkan sikap ‘cuek bebek’ terhadap lingkungan sekitarnya.  
            Mengaktifkan  kegiatan- kegiatan ekstrakurikuler berupa pramuka, Palang Merah Remaja, kelompok paduan suara dan sebagainya adalah contoh-contoh kongkrit yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan rasa solidaritas dan saling menghormati tadi.

3. Memberikan tanggungjawab
Bertanggungjawab berarti mau dan berani mengemban tugas dengan segala resiko yang harus dipikul   akibat dari perbuatan ataupun kelalaian menjalankan tugas.   Tanggungjawab juga merupakan barometer sikap dan kepribadian seseorang. Karenanya maka sikap semacam ini mesti ditanamkan dan dipupuk sejak dini agar nantinya setelah terjun bermasyarakat, mereka tidak mencari-cari ‘kambing hitam’ ketika menghadapi dan mengatasi suatu persoalan yang ditemukan.
Melibatkan para pelajar dalam mengelola perpustakaan sekolah, kebersihan ruangan kelas, koperasi dan lain-lain dapat dijadikan pelajaran pemula guna merealisasikannya. Kendati terlihat sederhana, namun mencerminkan kemampuan dan kemauan bertanggungjawab pada tataran pelaksanaan tugas-tugas yang lebih berat.   

4.      Menyediakan program-program pilihan
Sedapat mungkin dan bahkan sudah semestinya pendidikan yang ditekuni siswa benar-benar sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. Tidak seperti selama ini menjejali setiap peserta didik dengan segudang kelompok disiplin ilmu yang justru bisa mematikan potensi pribadi yang mereka miliki. Padahal, dari sekian banyak jenis mata pelajaran di sekolah dasar maupun sekolah-sekolah lanjutan (SMP/SMA & sederajat) nantinya barangkali hanya beberapa persen saja yang terpakai untuk diaplikasikan dalam profesi pekerjaan yang didapatkan.
Menghidupkan kembali sekolah-sekolah kejuruan pada jenjang SMP dan sederajat mungkin dapat menjadi sebuah solusi. Atau paling tidak, menyediakan program-program pilihan di sekolah-sekolah umum. Katakanlah ada sejumlah mata pelajaran yang wajib diikuti oleh semua siswa, semisal Pendidikan Agama, PPKN, Bahasa Indonesia atau dilengkapi dengan matematika. Sedangkan sisanya akan lebih  realistis apabila  dalam bentuk mata pelajaran-mata pelajaran pilihan saja.
Konon katanya  pendidikan di  negara-negara maju menerapkan sistem seperti ini. Anak-anak didik yang berbakat di bidang eksakta misalnya, mereka tak perlu dibebani dengan mata pelajaran-mata pelajaran yang memang tidak relevan. Hasilnya, merekapun menjadi para ahli di bidang profesi yang benar-benar digeluti. Sementara di negeri tercinta ini serba tak jelas dan mengambang. Maka tak heran kalau siapa saja seolah-olah mengerti tentang segala hal, namun tentunya sebatas ‘kulit-kulit’nya saja dan tak pernah tahu isi yang sesungguhnya.
5.Praktisi pendidikan yang benar-benar berkompeten
Adalah wajar, selaku ujung tombak dunia pendidikan maka figur para guru akan selalu menjadi sorotan berbagai pihak. Baik itu pemerintah, orangtua para siswa maupun masyarakat pada umumnya. Sebab sesungguhnya memang di pundak sosok-sosok ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’ inilah tanggungjawab terbesar masalah pendidikan berada.
Sayangnya, ditengarai saat ini banyak juga orang yang memanfaatkan situasi. Menodai dunia pendidikan dengan menempuh ‘jalan tol’ untuk bisa menjadi seorang guru. Terkadang tak jelas kapan dan di mana mereka menuntut ilmu (kuliah) bidang kependidikan, namun tiba-tiba ‘akta’ (ijazah) telah mereka dapatkan.Oleh karenanya, rekrutmen untuk menjadi seorang guru haruslah terus dan tetap diawasi,dievaluasi serta dibenahi.
Begitu pula terhadap praktisi-praktisi pendidikan lainnya.  Kepala sekolah, para pengawas dan pemangku-pemangku jabatan di dinas pendidikan lokal maupun nasional mestilah diisi dan diduduki oleh pribadi-pribadi yang ‘concern’ terhadap dunia pendidik an itu sendiri.
Apa yang penulis uraikan di atas kiranya menjadi unsur-unsur yang harus dipenuhi atau setidaknya dipertimbangkan dalam rangka mencari format ideal bagi sistem pendidikan nasional kita. Dan semoga saja ia segera hadir di depan mata!(*)