SALAM REDAKSI
Hai,
jumpa lagi dengan Mading Cahaya JIWA, majalah dinding
kesayangan dan kebanggaan kita bersama. Tentu saja, seperti sebelum-sebelumnya,
kami tetap berharap dan berdoa semoga kita semua tetap sehat dan tak kurang
suatu apapun serta dapat berbuat yang terbaik bagi nusa dan bangsa, khususnya
untuk kemajuan sekolah kita yang
tercinta: SMP Negeri-2 Pegajahan.
Pembaca
yang budiman….
Sang
waktu terus berputar. Detik demi detik berganti dengan menit. Menit demi menit
berganti dengan jam, hari, bulan dan seterusnya. Kiranya kali ini kita telah
berada pada edisi ke-17. Kita sudah memasuki hari-hari terakhir untuk bulan Mei
dan akan segera berganti dengan bulan Juni. Barangkali ini bakal menjadi edisi
terakhir kita untuk Tahun Pelajaran 2012/2013. Kita akan lebih memfokuskan diri
dan berkonsentrasi dulu untuk serangkaian kegiatan yang berhubungan dengan
Ujian Kenaikan Kelas.
Nah,
sebagaimana bulan Mei, bulan Juni juga menyimpan serangkaian hari
penting/bersejarah. Di antaranya, yang terpenting ialah: 1 Juni (Hari Lahirnya
Pancasila), 5 Juni (Hari Lingkungan Hidup Sedunia) dan 29 Juni (Hari Keluarga
Nasional). Oleh karena itu kamipun berupaya agar tetap ada menampilkan
hasil-hasil karya yang bertemakan hal-hal yang berkaitan dengan apa yang kami
sebutkan tadi.
Okelah,
seperti biasa, silahkan baca dan lihat saja sendiri sepuasnya!!! Tak lupa,
sekali lagi: Salam manis untuk kita semua
~ REDAKSI ~
####################################################
OPINI
Pancasila Versus Budaya Barat
Oleh: Halim Mansyur Siregar
Jika
kita cermati dengan teliti, dewasa ini sesungguhnya ada sebuah ‘pertarungan
besar’ yang kerap kita saksikan. Entah itu di televisi, koran, majalah dan
media-media informasi lainnya. Pertarungan yang penulis maksud dan ingin
penulis kemukakan ialah Budaya Pancasila versus Budaya Barat.
Sebagaimana
kita ketahui, Indonesia dengan keberagaman suku, agama, bahasa dan sebagainya memiliki
‘alat perekat’ yang ampuh, yakni Pancasila. Segenap warga negara Indonesia
mempunyai tanggungjawab untuk mempertahankan ideologi dan falsafah bangsa kita
itu dari rongrongan pihak-pihak yang ingin menggerogotinya dengan cara
‘frontal’ maupun terselubung. Kuatnya rasa persatuan dan kesatuan dalam
sanubari seluruh bangsa Indonesia inilah yang membuat negara-negara tertentu
(terutama antek-antek komunis dan yahudi) harus berpikir ekstra keras untuk
menemukan jurus jitu dalam upayanya meruntuhkan falsafah hidup bangsa
Indonesia.
Diakui
atau tidak, disadari maupun tidak, 90 persen media massa (baik elektronik
maupun cetak) di seluruh dunia ini ternyata berada di bawah komando kaum
yahudi. Film-film porno, iklan-iklan berbau seks, sinetron-sinetron dan beragam
tayangan acara lainnya kebanyakan mengemban misi untuk merusak moral dan sikap
mental kita, terutama para generasi muda. Kendati sulit membuktikannya, namun
ada dugaan bahwa sejumlah media massa di tanah air kita akan mendapat suntikan
dana asalkan bersedia berpartisipasi demi tercapainya misi dan tujuan yang
mereka emban.
Lihat
saja sinetron-sinetron di televise! Umumnya hanya menyuguhkan adegan-adegan
pacaran, perselingkuhan, hura-hura, mencelakakan teman dan adegan-adegan buruk
lainnya. Tokoh-tokoh yang baik selalu digambarkan sebagai pecundang yang selalu
diejek atau dihina, disakiti, dianiaya dan sebagainya. Sudah teramat langka sinetron
yang misalnya menceritakan ada seorang murid yang walaupun ia miskin tetapi
karena ia pintar dan baik hati maka ia disukai teman-teman sekelasnya.
Atau
tengok pula acara-acara ‘pendidikan calon artis dan selebritis’ yang
seolah-olah bisa menyulap orang menjadi kaya dan terkenal dalam sekejap tanpa
harus bersusah payah menuntut ilmu di sekolah. Sementara jawara-jawara di
bidang sains, matematika, teknologi dan hal-hal semacamnya dianggap bagai angin
lalu saja. Ada apa di balik semua itu? Tiada lain tentunya agar generasi muda
kita teracuni dengan pola pikir: ‘Untuk apa repot-repot bersekolah? Mendingan
jadi artis saja, sudah!!!
Parahnya,
meski bukan artis atau gagal menjadi artis, kebanyakan generasi muda kita malah
sok ‘keartis-artisan’. Sikap dan perilakunya sudah tak lagi mencerminkan budaya
Pancasila. Mereka lebih suka bergaya ala Eropa atau Amerika. Menelan
bulat-bulat budaya barat.
Jika
fenomena ini tidak kita tangkal sejak dini maka lambat laun bukan tidak mungkin
Pancasila akan tinggal menjadi lambang negara semata yang tak punya pengaruh
apa-apa bagi bangsa Indonesia. Tentu saja kita tak menginginkannya, bukan
(?)***
#######################################################
CERPEN & PUISI
* CERPEN: -Guruku Idolaku
* PUISI:
tolong sisihkan waktu untuk memandangnya.
Walau kini telah buram bias warnanya
setidaknya ada seulas senyum yang hendak ku beri.
Senyum dengan sejuta arti yang tak pernah kau mengerti.
~ Oleh: Halim Mansyur Siregar
Sebuah Tanya
Masih mungkinkah
kita menemukan jejak falsafah
di tengah pekatnya
belantara jiwa nan penuh belukar nista?
Sementara tongkat
-tongkat adat tak lagi berguna
menjadi alat penepis
sampah penyebab tertutupnya arah yang tepat
Dan lentera norma
pun nyaris padam
hingga peta agama
hampir tiada terbaca oleh sebagian besar anak negeri
yang telah memilih
jalan pintas menempuh langkah menuruti ajakan setan
dengan melepas
cengkeraman tangan-tangan nasehat
yang kaku terdiam
AGAR ESOK MAMPU TERGELAK
(: perjuangan ayah)
ringkih raga, legam
di pundak
melintasi hidup di
jalanan penuh batu berserak
Dengan irama napas
mengalun sesak
diiring derita
bernada serak
nyanyikan sebait
rindu nan menyentak
bangkitkan gairah
bagi jiwa anak-anak
agar esok bibir-
bibir mereka mampu tergelak
di singgasana tawa
mengusir isak
dan terbit pada edisi Rabu, 6 Desember 2006
bangunlah wahai
anakku
sejuta mimpi
tak-kan membawa arti
lihat di luar sana
senyum surya tlah
menyapa seisi bumi
dan sang waktu
bakal terus berlari
jangan sampai
kehilangan kehangatannya
bila itu terjadi
maka saat engkau
terjaga nanti
mungkin saja ia
telah pergi
lalu haruskah
cerita dunia yang kau saksikan
hanyalah kisah
tentang mendung dan hujan
MUSIM MASIH BEGITU
dedaunan layu
menguning
reranting lapuk
mengering
tanahku gersang
merana
tiada mampu
menumbuhkan bunga
hingga tiba di
batas waktumu, Ibu
musim masih saja
begitu
membara dan membara
lagi
seteguk madu tak
sempat kuberi
* Puisi-puisi ini pernah dikirim ke
Koran Analisa
dan terbit pada edisi Rabu, 27 Desember 2006
Nasehat
Ayah Kepada Anaknya (1)
Seperti laut yang bangga
kepada ombaknya
serupa gunung yang bangga
akan ketinggian puncaknya
ku ingin menjadi ayah yang
bangga terhadap anak-anaknya
maka tuntutlah ilmu setinggi
yang engkau mampu
carilah harta sebanyak
yang engkau damba
namun jangan pernah lupa
andaipun bumi dapat kau
genggam seluruh isinya
dan semua kau persembahkan
untuk bunda
sesungguhnya itu takkan
bisa menutupi
meski hanya jejak
setapak kaki
dari perjalanan yang
pernah ia lakoni
Nasehat
Ayah Kepada Anaknya (2)
Sejak dalam rahim ibumu
telaga rinduku mengalirkan
kekaguman
gerak-gerikmu menjadi
bait-bait bahagia
menyuburkan setangkai
puisi berbunga asa
sembari menunggu tangismu
membuka lembaran baru
aku tetap terjaga hingga
batas pagi buta
memintal benang-benang
do’a untuk segumpal jiwa
kini engkau telah mengenal
segala musim dan cuaca
maka apapun yang engkau
rasa
tetaplah setia kepada
kearifan
jadilah penabur benih
kebenaran
Nasehat
Ayah Kepada Anaknya (3)
Satu demi satu angka-angka
kalender berlalu
pergi meninggalkan kau dan
aku
kini rona senja mekar di
pelupuk mata
menduga-duga di mana
berada tapal batas usia
setangkai sujud sewangi
kasturi menyeretku ke tepi do’a
sesekali pipi ini basah
berkaca-kaca
namun bening air mata itu
memancarkan gemerlap cahaya cinta
untukmu : pelita di kala
gulita
jika kelak ku harus lebih
dahulu menutup mata
satu yang ku pinta : tetaplah
membuatku merasa bangga
agar di hadapan Sang
Pencipta aku bisa mempertanggungjawabkan amanah-Nya
Nasehat
Ayah Kepada Anaknya (4)
Di tepian waktu
kita hanyalah laksana
sekumpulan serangga malam yang mengitari lampu
kemudian menukik tajam dan
menyisakan diam
sedangkan segala rahasia
mutlak menjadi milik-Nya
pun kematian menjadi
bayangan bagi kelahiran akan terus mengalir sebagai takdir
pasti tiba suatu masa di
mana kita ‘kan mendengar
bisikan maut
saat itulah untaian
kalimat tersumbat tak bersuara
dan tatapan mata yang
berkabut adalah penggantinya
maka sadarilah sepenuhnya
bahwa sesungguhnya dunia
hanyalah tempat persinggahan sementara
dan kelak bakal tertinggal
semuanya
tiada yang dapat dibawa, kecuali amal semata
tak selalu sendu mata bulan
tiada
selamanya mendung menjadi hujan
akan ada
masa pelangi muncul di atas awan
untuk apa
termangu dan diam membisu
menatap
pilu ke masa lalu
bukankah
jalanpun tidak semua terjal dan berliku
aku bukan tulip atau sakura
hanya
rumput kering yang hampir mati
di sela
serumpun ilalang bernasib serupa
tapi
daunku yang tinggal satu
akan
terus melambai menari
hingga
retak tanah tempat aku berdiri
karena
kutahu pasti
angin
bukan milikmu sendiri
boleh
saja di langit tiada bintang
namun
dalam tidur nyenyakku mimpi indah pasti datang
maka
biarlah malam ini gerimis tak jua reda
sebab esok
pagi akan kuteguk tetesan embunnya
dan terbit pada edisi Rabu,10 Januari 2007
Ket: hasil-hasil karya lainnya silahkan lihat langsung di Mading sekolah!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar