Mencari Format Ideal Sistem
Pendidikan Nasional
Oleh : Drs. Halim Mansyur Siregar
Salah satu aspek terpenting dalam hidup dan kehidupan manusia di atas
dunia adalah berkenaan dengan masalah pendidikan. Karenanya, ‘obrolan’ seputar
hal itu mungkin tidak akan pernah tuntas untuk dibahas. Bahkan penuturnya-pun
mampu menembus lintas batas.
Dewasa ini boleh dikatakan bahwa
semua kelompok masyarakat terkesan piawai jika diajak membicarakan hal-hal
menyangkut dunia pendidikan dengan berbagai problematikanya. Entah itu tentang
biaya yang mesti dikeluarkan. Atau berkenaan dengan sekolah-sekolah pilihan
untuk memasuki jenjang yang lebih tinggi. Atau bahkan berkaitan dengan
kurikulum, sistem kelulusan dan sebagainya.
Harus pula kita akui bahwa
sesungguhnya sistem pendidikan nasional yang sedang dan pernah kita terapkan
belumlah berada pada format yang ideal. Sebab, menurut hemat penulis, format
ideal sistem pendidikan nasional( agar mencapai hasil yang optimal) minimal
mesti memenuhi kriteria seperti tercantum di bawah ini.
1. Mampu membangun kemandirian
Format ideal sistem pendidikan
nasional haruslah mampu membangun sikap mental yang penuh kemandirian.
Membentuk manusia-manusia Indonesia
yang nantinya setelah dewasa akan
sanggup berusaha sendiri tanpa mesti ‘mengantri’ hanya karena
semata-mata hendak menjadi pegawai negeri.
Untuk itu maka pengadaan segala
sarana dan prasarana, terutama pembangunan laboratorium (IPA, Matematika,
Bahasa dan sebagainya) sudah tak dapat lagi ditunda-tunda. Jangan sampai ada
sekolah yang telah berdiri dan beroperasi selama puluhan tahun, namun tak
memiliki laboratorium satu unitpun.
2. Menumbuhkan rasa solidaritas dan saling
menghormati
Meskipun kemandirian perlu
ditanamkan ke dalam lubuk hati setiap peserta didik, namun para generasi
penerus cita-cita bangsa itu harus pula dibekali dengan menumbuhkan rasa
solidaritas (semangat kerjasama) dan saling menghormati. Tujuannya tiada lain
agar mereka terbiasa mengapresiasi dan berempati kepada orang lain serta
menjauhkan sikap ‘cuek bebek’ terhadap lingkungan sekitarnya.
Mengaktifkan kegiatan- kegiatan ekstrakurikuler berupa
pramuka, Palang Merah Remaja, kelompok paduan suara dan sebagainya adalah
contoh-contoh kongkrit yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan rasa solidaritas
dan saling menghormati tadi.
3. Memberikan tanggungjawab
Bertanggungjawab berarti mau dan berani mengemban tugas dengan segala
resiko yang harus dipikul akibat dari
perbuatan ataupun kelalaian menjalankan tugas.
Tanggungjawab juga merupakan barometer sikap dan kepribadian seseorang.
Karenanya maka sikap semacam ini mesti ditanamkan dan dipupuk sejak dini agar
nantinya setelah terjun bermasyarakat, mereka tidak mencari-cari ‘kambing
hitam’ ketika menghadapi dan mengatasi suatu persoalan yang ditemukan.
Melibatkan para pelajar dalam mengelola perpustakaan sekolah, kebersihan
ruangan kelas, koperasi dan lain-lain dapat dijadikan pelajaran pemula guna
merealisasikannya. Kendati terlihat sederhana, namun mencerminkan kemampuan dan
kemauan bertanggungjawab pada tataran pelaksanaan tugas-tugas yang lebih berat.
4. Menyediakan program-program pilihan
Sedapat mungkin dan bahkan sudah semestinya pendidikan yang ditekuni
siswa benar-benar sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. Tidak seperti
selama ini menjejali setiap peserta didik dengan segudang kelompok disiplin
ilmu yang justru bisa mematikan potensi pribadi yang mereka miliki. Padahal,
dari sekian banyak jenis mata pelajaran di sekolah dasar maupun sekolah-sekolah
lanjutan (SMP/SMA & sederajat) nantinya barangkali hanya beberapa persen
saja yang terpakai untuk diaplikasikan dalam profesi pekerjaan yang didapatkan.
Menghidupkan kembali sekolah-sekolah kejuruan pada jenjang SMP dan
sederajat mungkin dapat menjadi sebuah solusi. Atau paling tidak, menyediakan
program-program pilihan di sekolah-sekolah umum. Katakanlah ada sejumlah mata
pelajaran yang wajib diikuti oleh semua siswa, semisal Pendidikan Agama, PPKN,
Bahasa Indonesia atau dilengkapi dengan matematika. Sedangkan sisanya akan
lebih realistis apabila dalam bentuk mata pelajaran-mata pelajaran
pilihan saja.
Konon katanya pendidikan di negara-negara maju menerapkan sistem seperti
ini. Anak-anak didik yang berbakat di bidang eksakta misalnya, mereka tak perlu
dibebani dengan mata pelajaran-mata pelajaran yang memang tidak relevan.
Hasilnya, merekapun menjadi para ahli di bidang profesi yang benar-benar
digeluti. Sementara di negeri tercinta ini serba tak jelas dan mengambang. Maka
tak heran kalau siapa saja seolah-olah mengerti tentang segala hal, namun
tentunya sebatas ‘kulit-kulit’nya saja dan tak pernah tahu isi yang
sesungguhnya.
5.Praktisi pendidikan yang
benar-benar berkompeten
Adalah wajar, selaku ujung tombak dunia pendidikan maka figur para guru
akan selalu menjadi sorotan berbagai pihak. Baik itu pemerintah, orangtua para
siswa maupun masyarakat pada umumnya. Sebab sesungguhnya memang di pundak
sosok-sosok ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’ inilah tanggungjawab terbesar masalah
pendidikan berada.
Sayangnya, ditengarai saat ini banyak juga orang yang memanfaatkan
situasi. Menodai dunia pendidikan dengan menempuh ‘jalan tol’ untuk bisa
menjadi seorang guru. Terkadang tak jelas kapan dan di mana mereka menuntut
ilmu (kuliah) bidang kependidikan, namun tiba-tiba ‘akta’ (ijazah) telah mereka
dapatkan.Oleh karenanya, rekrutmen untuk menjadi seorang guru haruslah terus
dan tetap diawasi,dievaluasi serta dibenahi.
Begitu pula terhadap praktisi-praktisi pendidikan lainnya. Kepala sekolah, para pengawas dan
pemangku-pemangku jabatan di dinas pendidikan lokal maupun nasional mestilah
diisi dan diduduki oleh pribadi-pribadi yang ‘concern’ terhadap dunia pendidik
an itu sendiri.
Apa yang penulis uraikan di atas kiranya menjadi unsur-unsur yang harus
dipenuhi atau setidaknya dipertimbangkan dalam rangka mencari format ideal bagi
sistem pendidikan nasional kita. Dan semoga saja ia segera hadir di depan
mata!(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar