Selamat Datang di Blog Majalah Dinding Cahaya JIWA - Online

Minggu, 31 Maret 2013

Opini sampai dengan edisi ke-11


OLEH: YULIE AYU UTARI


Masa yang paling indah adalah masa remaja
Masa yang paling menyedihkan adalah masa remaja.

Masa yang paling ingin dikenang adalah masa remaja.
Masa yang paling ingin dilupakan adalah masa remaja.

Ungkapan diatas rasanya sangat tepat ditulis ketika seseorang sudah berada pada kondisi dewasa. Karena pada masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan sukar untuk dilupakan. Pada masa itu, telah mengalami masa cinta – cintaan atau yang lebih popular dikenal yaitu “cinta monyet”. Istilah ini dipakai karena masa remaja adalah awal merasa mengagumi lawan jenis. Sang cowok akan mulai melirik para cewek dan sebalinya. Hal ini dikarenakan berfungsinya hormon gonadotrofik yang diproduksi oleh kelenjar hypothalamus adalah munculnya perasaan saling tertarik antara remaja pria dan wanita. Perasaan tertarik ini bisa meningkat pada perasaan yang lebih tinggi yaitu cinta romantis (romantic love) yaitu luapan hasrat kepada seseorang atau orang yang sering menyebutnya “jatuh cinta”.
Istilah “cinta monyet” sudah sering kita dengar sejak dahulu. Istilah ini dimunculkan karena yang mengalami rasa ini adalah kalangan remaja yang dianggap masih belum stabil dalam bertingkah laku dan ingin mencari jati diri sehingga belum pantas untuk jatuh cinta dalam makna yang sebenarnya dikalangan usia dewasa. Cinta monyet juga ditujukan pada remaja yang mengagumi orang yang lebih tua darinya – guru – disekitar kehidupannya. Walaupun dikatakan cinta monyet yang mengandung stigma cinta sementara atau cinta yang tidak serius. Namun, kalangan remaja sudah menganggap cinta monyet-nya itu adalah cinta sejatinya. Cinta yang patut dicari secepatnya dan diperjuangkan sekuat tenaga agar tidak tersisih dari pergaulan seusianya.

Berdasarkan paradigma tersebut, maka muncul permasalahan dikalangan remaja itu sendiri. Mereka akan merasa minder atau dianggap “kuper” ketika tidak punya pacar. Punya pacar adalah suatu keharusan bahkan hukumnya menjadi wajib bagi mereka. Mereka akan lebih mementingkan bagaimana mencari pacar atau cintanya ketimbang memusatkan pikiran untuk pendidikannya. Karena ketika mereka punya pacar, maka mereka akan diterima oleh pergaulan seusianya. Hingga dianggap “up to date”, keren dan gaul. Maka esensi dari cinta itu semakin kabur dari makna sejatinya.
Banyak remaja yang menjadi “galau” ketika mereka tidak memiliki pacar. Beragam cara dipakai agar mendapat pacar. Mulai bercerita pada teman, sering keluar rumah, main ke mall bahkan ada yang mempromosikan diri pada semua orang disekitarnya bahwa ia belum punya pacar dan ingin memiliki pacar. Kalau dahulu masa remaja yang memiliki rasa cinta pada lawan jenis, maka ia akan berusaha untuk menutupinya bahkan menghindar dari kondisi tersebut. Mereka merasa malu kalau “rasa” itu diketahui oleh orang tua dan guru. Mereka juga masih malu – malu bercerita (curhat) pada teman dekatnya. Karena akan dianggap aneh dan tabu. Tapi, fakta sekarang para remaja sudah tidak malu – malu lagi mengekspresikan apapun yang ada dihati tanpa memikirkan dampaknya kedepan. Tak lagi melihat atau memikirkan apakah pantas atau tidak. Bahkan remaja putri tak segan – segan untuk lebih dulu mengekspresikan rasa-nya pada remaja pria. Fenomena ini sangat melukai keberadaan nilai kesopanan yang ada dikalangan masyarakat kita yang masi menjunjung tinggi adat kesopanan.
Kondisi ini memunculkan paradigma remaja yang merasakan cinta monyet atau malah para monyetlah yang bercinta. Maksudnya, sudah tidak ada lagi dipakai logika atau norma dalam hal percintaan ini. Harga diri sudah tidak dipedulikan lagi. Semuanya pada bebas mengekspresikan hatinya. Padahal ketika ditanya sebenarnya apa arti cinta itu juga remaja belum paham. Tapi demi mendapatkan predikat “laku”, “ganteng”(remaja pria) dan “cantik” (remaja wanita) maka apapun dilakukan. Pembuktian yang membuktikan bahwa remaja masih pada kondisi tidak stabil dalam pembuktian jati diri.
Peran orang tua, pendidik dan lingkungan masyarakat sebaiknya lebih ditingkatkan. Orang tua harus mampu menjadi “sahabat” dari anak remajanya hingga lebih terbuka ketika ada masalah didunia remajanya. Pendidik lebih mampu memberikan panutan, motivasi dan pembelajaran tentang kehidupan seusianya. Lingkungan masyarakat memberikan teladan yang baik untuk generasi penerus bangsa yang tidak lemah dan terlena tetapi kuat dan mandiri.Remaja juga sebaiknya lebih terbuka pada orang tuanya dan keluarganya. Akan lebih indah dan bermakna dirimu dimata dunia ketika kamu mampu bertindak dan bersikap pada koridor yang seharusnya. Kejarlah dan capailah mimpimu dibidang pendidikanmu bukan mengejar cinta semu yang menjadikan dirimu tak seperti dirimu diusiamu. Kesemuanya akan memperbaiki kondisi remaja menjadi lebih baik dari segala problematikanya.*



                                   ***********************************



FENOMENA MEM-BOOMING-NYA BAHASA ALAY

 DI KALANGAN REMAJA
Oleh: YULIE AYU UTARI

Beberapa tahun belakangan hingga saat ini, semakin sering kita mendengar ujaran – kasih tau ga ya?, mau tau aja atau mau tau banget?, ciyus...?, miyapa..?, apa aja juga boleh – dari berbagai kalangan baik kalangan remaja, maupun usia dewasa. Bahkan, sering juga kita melihat atau menulis kata – kata yang berbeda – Humz, Ja, Yupz, Niyh, Tuch, Dech, Lom, abizzz, Maniezt, Kyeent, Tawh – dari bahasa Indonesia pada umumnya.Bahasa dan tulisan diatas sangat familiar didengar maupun dilihat oleh kita akhir – akhir ini. Bahkan sudah “membooming” hingga menjadi salah satu trend bahasa dan tulisan dikalangan remaja. Fenomena yang terjadi berawal dari semakin majunya teknologi sebut saja pesan singkat (SMS) yang menerapkan batas jumlah karakter huruf yang akan dikirimkan ke penerima pesan, sehingga muncul pengefektifan huruf dengan menyingkat kata sesingkat-singkatnya tanpa mengurangi makna dari kata tersebut. Sehingga pesan juga bisa tersampaikan.
Maka muncullah bahasa yang sering kita sebut “bahasa Alay”. Tak hanya bahasa, tulisan alay juga semakin sering menghiasi media sosial atau bahkan sejumlah iklan di media. Kata-kata itu ditulis dengan kombinasi huruf besar, kecil dan angka, sungguh jauh dari kaidah ejaan yang benar. Namun, semakin kebelakang malah semakin kebablasan. Bahkan fenomena penggunaan bahasa dan tulisan ini dianggap tend yang mampu membius kalangan usia sekolah mulai dari kalangan SD, SMP, hingga SMA. Karena dianggap mereka akan keren dan up to date ketika menggunakan bahasa dan tulisan Alay.

Apalagi ditambah semakin banyakanya media jejaring sosial “social networking” didunia maya – friendster, facebook, twitter – yang mengakomodir para penggunanya untuk bebas berekspresi dan mengabarkan setiap detik yang ingin dituliskan di “wall” mereka. Hingga membuat nama profilnya dengan nama yang tidak mencerminkan namanya. Padahal apapun yang mereka tulis maupun yang mereka munculkan menjadi foto profilnya, maka semuanya itu akan dilihat oleh orang banyak sesama pengguna dunia maya. Pastinya itu tanpa adanya filteralisasi oleh siapapun. Karena semua pengguna bebas mengakses apapun yang mereka inginkan. Ditambah lagi, seperti sengaja dibenarkan merebaknya bahasa dan tulisan tersebut oleh kalangan publik seperti kalangan selebritis yang banyak memiliki penggemar fanatik. Hal ini semakin menjadikan bahasa Alay seperti bahasa dan tulisan yang wajar dan akrab khususnya kalangan remaja. Lalu, seperti apakah sikap kita akan fenomena itu?
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Bramantio., SS. M.Hum menjelaskan gejala tersebut sebagai fenomena bahasa alay. “Alay merupakan suatu fenomena yang terjadi pada sekelompok remaja minoritas dan memiliki karakteristik yang unik. Bahasa yang mereka gunakan terkadang “menyilaukan” mata dan “menyakiti” telinga bagi masyarakat yang tidak terbiasa,” tuturnya saat diskusi  “Fenomena Bahasa Alay dan Jatidiri Generasi Muda Indonesia”.
Disini kita akan membahas dampak positif dan negatif penggunanan bahasa lisan maupun tulisan alay khususnya bagi remaja usia sekolah dan anak – anak usia balita. Dampak positif dari bahasa alay yakni sebagai media berekspresi bagi remaja yang memiliki kebutuhan untuk diperhatikan lebih. Mereka jadi lebih kreatif dan dinamis dalam menciptakan maupun menginovasi bahasa baku yang sudah ada. Para remaja jadi lebih kritis dan merasa lebih memiliki jati diri ketika mampu berekspresi lebih. Sementara, sisi negatif bahasa alay membuat bingung bagi orang yang tidak terbiasa berkomunikasi menggunakannya. Apalagi ketika semakin sering digunakan oleh remaja, maka mereka akan semakin melupakan bahasa Indonesia secara perlahan. Karena bahasa dan tulisan alay ini sangat jauh dari kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Parahnya lagi, ketika fenomena ini terus dibiarkan berkembang, maka pengguna bahasa dan tulisan alay ini semakin leluasa tanpa hambatan hingga malas untuk bertutur kata mengikuti tata bahasa yang seharusnya. Karena bahasa akan senantiasa terjaga ketika pengguna senantiasa menggunakan bahasa tersebut secara baik dan benar. Bukan tidak mungkin bahasa nasional kita – bahasa Indonesia - semakin lama akan semakin terganti oleh bahasa pergaulan atau bahasa alay.
Untuk itu, pada semua pihak baik keluarga, pendidik, maupun publik senantiasa memberikan pembelajaran penggunaan bahasa yang lebih baik. Kalangan remaja juga tidak terus “latah” menggunakan bahasa dan tulisan alay yang akan mengancam keberadaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Berbanggalah untuk tetap menggunakan bahasa  Indonesia yang baik dan benar. Jangan terbiasa dengan hal yang mudah dan enak untuk dipakai ataupun didengar. Sudah seharusnya, kita diharapkan menggunakan bahasa Indonesia sesuai kebutuhan dan tuntutan. Penggunaan bahasa Indonesia seharusnya tetap memperhatikan kaidah, peserta komunikasi, situasi, kondisi dan tujuan komunikasi. Dengan demikian keberadaan bahasa Indonesia akan tetap menjadi bahasa Nasional dan tidak terancam oleh keberadaan bahasa lain yang tidak jelas kaidahny


                                 *******************************************

Intelektual Sejati
Oleh : Drs. Halim Mansyur Siregar

Siapapun kita tentu sepakat jika predikat kelompok intelektual sesungguhnya melekat pada sosok-sosok ibu dan bapak guru. Selaku penyandang gelar yang  cukup terhormat itu maka sudah selayaknya pula para guru bersikap dan berperilaku serta           menjalankan fungsi yang mencerminkan keintelektualan. Dengan kata lain, para gu-ru merupakan sumber pengetahuan sekaligus menjadi figur panutan yang digugu dan ditiru oleh murid-murid mereka.
 Sebagai pengajar (sumber ilmu), sebenarnya setiap guru masih mempunyai kewajiban untuk terus meningkatkan wawasan keilmuan yang telah mereka dapatkan melalui pendidikan maupun pengalaman di lapangan. Dan selaku pendidik (panutan), gurupun harus senantiasa berupaya mengajak, membimbing dan mendorong murid-muridnya ke arah yang sama. Di sinilah kegemaran  membaca dan menulis (menyampaikan  gagasan, pengetahuan, pengalaman dan sebagainya dengan menggunakan bahasa tulisan) mengambil peran.
  Betapa pentingnya peranan kegemaran membaca, terlebih kebiasaan menulis tadi sehingga bisa dikategorikan merupakan budayanya kaum intelektual. Aktifitas baca-tulis dianggap mewakili kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian hari semakin tinggi. Artinya, tingkat intelektualitas seseorang dapat dilihat dari seberapa gemar ia membaca dan seberapa sering pula ia membuat tulisan, terutama jika tulisan-tulisannya kemudian juga diterbitkan oleh media massa berupa koran, majalah dan sebagainya.
 Wajar-wajar saja pemikiran di atas. Logikanya, sejak seseorang (di masa balita) mempunyai kemampuan bicara, tentulah ia mampu mengutarakan dan mengungkapkan   keinginan, pengetahuan atau pengalaman dan hal-hal lain yang terjadi pada dirinya dengan bertutur kata secara lisan. Sementara memaparkan melalui tulisan barangkali baru dipelajari setelah duduk di bangku sekolah dasar nanti untuk selanjutnya akan terus diasah pada jenjang-jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
 Di samping itu, tentunya penulis menempati posisi yang lebih tinggi daripada pembaca. Penulis adalah seumpama guru yang mengajari (memberi informasi), sedangkan pembaca laksana para siswa yang menyerap informasi dimaksud. Baik informasi mengenai kejadian-kejadian tertentu, penemuan-penemuan teknologi baru, gagasan-gagasan penyelesaian masalah yang nyaris menemui jalan buntu maupun hal-hal lain yang memang dirasa perlu.
 Pendek kata,  menulis adalah suatu perbuatan mulia. Tentu saja apabila tulisan yang dihasilkan berguna  untuk kebaikan masyarakat (pembaca), terutama dalam rangka  menambah khazanah wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun manfaat-manfaat positif lainnya yang berfaedah  bagi umat manusia.
 Yang jelas, aktifitas menulis akan memberikan dampak yang cukup signifikan kepada berbagai kalangan. Golongan  pembaca semakin luas wawasannya. Media massa ikut berkembang atas tulisan yang kita sumbang. Anak-anak didik tidak hanya berkutat pada buku-buku pelajaran yang terkadang   kaku dan kering kerontang. Penulisnya pun tak jarang bisa memperoleh uang jika tulisannya dimuat (diterbitkan) pada rubrik atau di media massa yang memberlakukan ketentuan demikian.
 Semoga uraian dalam tulisan ini menggugah hati komunitas guru selaku pemangku profesi yang mengaku dan diakui sebagai kaum intelektual untuk ikut berpartisipasi meramaikan dunia kepenulisan. Semakin berminat menulis dan semakin produktif menghasilkan tulisan berarti kita memang intelektual sejati.(*)

               ************************************************************* 

       Kunci Sukses Itu Adalah Mampu Mengelola Waktu
                            Oleh : Halim M. Siregar
         
          ‘Time is money’ (waktu adalah uang). Demikian pepatah orang Inggris. Orang Arab lain lagi. ‘Alwaktu Ka-asshaif’ (waktu itu seumpama pedang). Begitu pepatahnya. Kedua idiom ini mengisyaratkan tentang betapa berartinya ‘sang waktu’ bagi mereka.
          Cara pandang orang Inggris (juga orang-orang barat pada umumnya) mungkin menakar keberhasilan dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini ialah dengan uang yang didapatkan. Artinya, jika ingin memperoleh uang (kesuksesan) maka harus pandai-pandai menggunakan waktu. Sebaliknya, bila tidak maka waktulah yang bakal menguras pundi-pundi uang mereka.
          Sementara bangsa-bangsa Arab yang sejak dahulu kala terkenal ‘heroik’ dan berjiwa ‘militan’ barangkali menganggap kemampuan memanfaatkan waktu laksana ajang pertarungan antara hidup dengan mati. Singkatnya, siapa yang pandai menggunakan waktu maka mereka akan selamat dan keluar sebagai pemenang. Sedangkan bagi yang menyia-nyiakannya maka orang tersebutlah yang akan merasakan tajamnya mata pedang dan menjadi pecundang (pihak yang kalah) di arena pertarungan.
          Sebagai bangsa dan negara berkembang (developing country), kalau ingin maju maka sudah selayaknya kita tidak membuang-buang waktu dengan percuma. Kita bahkan harus ‘mengadopsi’ cara pandang yang meyakini bahwa waktu itu merupakan sesuatu yang memiliki essensi dan faedah yang begitu besar. Dengan kata lain, setiap waktu yang tersedia mestilah kita pergunakan seoptimal mungkin.
          Selain dari apa yang telah disebutkan di atas, sesungguhnya essensi waktu jauh lebih vital daripada harta. Sebab harta seandainya hilang, masih ada kemungkinan untuk mencari atau menggantinya. Sedangkan waktu, apabila ia telah hilang (berlalu) maka tentu sudah tertutup peluang untuk mencari (mengulanginya) lagi.
Detik demi detik, menit, jam, hari dan satuan-satuan waktu lainnya akan terus mengalir. Masa balita, kanak-kanak dan remaja tak akan bisa terulang kembali dalam kehidupan kita di dunia ini.
          Oleh karena itu kita harus benar-benar mampu mengatur dan mengelola waktu dengan sebaik-baiknya. Kemampuan mengatur, mengendalikan dan mengelola waktu secara baik inilah  yang sangat urgen untuk ditanamkan ke lubuk hati kita yang paling dalam (terutama para generasi muda) demi terwujudnya peningkatan kualitas kepribadian masing-masing dan bangsa Indonesia pada umumnya.
          Sebagai bentuk aplikasi dari apa yang telah diuraikan itu maka sejak saat ini mari kita isi ‘episode demi episode’ kehidupan yang sedang kita jalani sekarang dan akan kita lalui nanti dengan hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat, nusa dan bangsa serta agama tentunya.
          Belajar, bekerja dan beribadah merupakan beberapa contoh kegiatan yang tidak boleh kita tinggalkan dalam mengarungi arus perjalanan sang waktu. Itulah kunci yang harus kita miliki jika ingin memasuki ‘istana kesuksesan’. Baik dalam kehidupan di muka bumi ini maupun di akhirat nanti. (*)

               **************************************************

Mengisi Masa Liburan
Oleh : Drs.Halim Mansyur Siregar

            Dalam hitungan waktu yang tak begitu lama lagi kita akan memasuki masa ‘jeda’ atau yang akrab dikenal dengan libur kenaikan kelas. Dan jujur saja, momen libur panjang semacam itu termasuk yang paling ditunggu-tunggu. Baik oleh para siswa maupun bapak dan ibu guru.
            Beragam rencana mungkin telah memenuhi otak di kepala dan hati di dada. Barangkali  piknik ke luar kota bersama keluarga atau bersilaturahmi mengunjungi sanak saudara yang jarang-jarang baru bisa berjumpa maupun hasrat dan keinginan lain yang sebelumnya tertunda. Juga bagi yang tak ke mana-mana alias di rumah saja  tentu bisa pula mengisinya dengan kegiatan-kegiatan ‘penyegaran’ tanpa biaya, semisal memperbanyak intensitas berolah raga, menulis atau membaca dan berbagai hal positif lainnya.
Memang, suasana libur sangatlah berpengaruh kepada jiwa dan raga setiap orang. Menjadi  penyeimbang terhadap rutinitas bersekolah ataupun menggeluti pekerjaan sehari-hari. Sebab,  segala aktivitas yang dilakukan terus-terusan dalam waktu yang cukup lama pastilah menimbulkan rasa bosan, jenuh, letih dan sebagainya. Maka setidaknya kondisi demikian bisa sedikit mereda di musim liburan, oleh karena kita mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk menyelinginya dengan banyak kegiatan  di luar suasana formal sekolah atau pekerjaan sehari-hari.
Akan tetapi, tak jarang, masa-masa seperti itu hanya digunakan untuk hal-hal yang tidak menentu oleh anak-anak (didik) kita. Di sinilah andil orangtua dan para guru memegang peranan dalam rangka mengarahkan mereka kepada kegiatan-kegiatan positif  dan lebih bermanfaat.
Masa liburan bukan berarti menjadi tempat buat bermalas-malasan atau hura-hura tak karuan, apalagi sampai menjurus kepada tindak kejahatan. Justru momentum penyegaran pikiran ini semestinya dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk dapat menumbuhkembangkan ide, kreativitas, bakat dan keterampilan yang kelak berfaedah untuk menunjang  kehidupan mereka pada saat diperlukan. Bahkan, sebetulnya,  libur juga  tidak harus sepenuhnya menjauh dari lingkungan sekolah.
Bentuk-bentuk kegiatan ekstrakurikuler seumpama pramuka, Palang Merah Remaja, kelompok-kelompok penelitian ilmiah, sanggar-sanggar seni dan semacamnya dapat berfungsi sebagai sarana penyaluran kreatifitas dan produktifitas para siswa sesuai minat dan bakat yang mereka miliki dalam mengisi masa-masa liburan nanti. Selain sebagai sarana pembinaan keterampilan, juga bisa menjadi tempat ‘refreshing’ tersendiri.
Akan sangat bermanfaat apabila dalam masa liburan pun para tunas bangsa itu memperoleh tambahan wawasan, keterampilan dan ilmu pengetahuan. Namun tentu saja dengan suasana rileks dan tanpa sedikitpun aroma keterpaksaan. Melainkan murni dari lubuk hati para peserta didik sendiri. Guru hanyalah bersifat membantu, membimbing dan  mengarahkan mereka.(*) 

                    **********************************************************

Menyeimbangkan Fungsi Otak Kiri dan Kanan Dalam Pembelajaran
Oleh : Drs.Halim Mansyur Siregar

            Di tengah berlangsungnya KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) barangkali ibu dan bapak guru pernah atau bahkan sering menjumpai ada beberapa siswa yang melakukan hal-hal semisal menghayal, menggambar-gambar sesuatu di buku, iseng mengganggu teman sebangku maupun perbuatan-perbuatan lain yang sebetulnya tidak perlu dan tak ada kaitannya dengan topik pembelajaran saat itu.
            Beragam pula mungkin reaksi yang kita tunjukkan dalam menyikapi ataupun mengatasi tingkah polah anak-anak didik tadi. Boleh jadi ada yang marah dibuatnya. Atau ada juga yang sekadar mengingatkan dengan lemah lembut kepada mereka agar kembali fokus terhadap pelajaran. Bahkan ada pula yang ‘cuek bebek’ alias pura-pura tidak tahu dan masa bodoh dengan keadaan demikian. Serta banyak lagi kemungkinan lain yang ditimbulkan.
            Apapun tindakan tersebut, sepanjang bersifat dan berniat untuk mendidik mereka ke arah yang lebih baik tentulah manusiawi dan sah-sah saja. Namun selaku pendidik, sebaiknya kitapun mesti introspeksi diri daripada larut terbawa emosi. Senantiasa berpikir positif dan selalu berupaya mencari serta menemukan akar permasalahannya untuk kemudian memperoleh jalan keluar mengatasi situasi dan kondisi seperti ini agar tidak terulang dan terulang lagi berkali-kali.
            Perlu sama kita ketahui, seiring berkembang pesatnya kemajuan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini kiranya telah ditemukan bahwa pada otak manusia terdapat bagian yang disebut dengan otak kanan dan otak kiri di mana masing-masing memiliki fungsi tersendiri (khusus). Penemuan dan penelitian tersebut juga membuktikan bahwa ternyata selama ini otak kiri para peserta didiklah yang sangat dominan kita aktifkan dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Sementara otak kanan nyaris sama sekali tiada digunakan.
            Itulah salah satu penyebab mengapa fenomena letih,  lesu dan tak bergairah serta bosan menerpa sebagian siswa kita di kala mengikuti pelajaran. Karena otak kiri mereka terus dipacu untuk bekerja, sedangkan otak kanan tidak dilibatkan. Akibatnya, otak kiri si anak bakal kelelahan dan akan menyerap lebih banyak oksigen serta glukosa tubuhnya sehingga otak bagian kanan justru menjadi kekurangan. Reaksi (kompensasi) spontan dari otak kananlah sesungguhnya yang mereka perlihatkan.
            Masih menurut penelitian dimaksud, apabila penggunaan otak kiri seseorang lebih dominan maka belajar akan lebih baik dimulai dari bagian per bagian baru secara keseluruhan. Sebaliknya, kalau lebih dominan otak kanan maka belajar akan lebih baik dimulai dulu dari keseluruhannya barulah kemudian bagian per bagian.
            Oleh karena itu, kegiatan belajar mengajar membutuhkan metoda yang melibatkan otak kiri dan otak kanan secara seimbang. Menampilkan gambar-gambar, membuat gerakan-gerakan tertentu, menyelinginya dengan cerita atau bahkan memutar dan memperdengarkan musik, film dan sebagainya di sela aktifitas pembelajaran merupakan suatu bentuk yang ‘direkomendasikan’. Tentu saja cerita, musik dan film yang dimaksud adalah yang mengandung nilai-nilai positif (kebaikan) dalam upaya memacu semangat belajar dan kreatifitas para peserta didik. Sudahkah kita mencoba menerapkannya (?)*** 

                             *****************************************************

Motivasi Masih Berfungsi
Oleh : Drs.Halim Mansyur Siregar

Adalah sebuah kenyataan memilukan yang mesti kita hadapi selaku guru bahwa akhir-akhir ini kemauan dan kesungguhan belajar para siswa (termasuk putra-putri kita sendiri) benar-benar mengalami degradasi. Begitu jauhnya menurun, bahkan hingga nyaris tak terlihat lagi. Acapkali mereka lebih asyik menikmati tayangan acara-acara televisi atau keluyuran entah ke mana daripada menekuni buku-buku pelajaran yang telah disediakan  
Meski tanpa sebuah penelitian resmi, dapat diambil semacam kesimpulan bahwa hal itu disebabkan oleh karena kurangnya motivasi yang mereka terima. Baik dari para guru, apalagi dari orangtua mereka sendiri. Dengan kata lain, motivasi mempunyai peranan yang sangat berarti untuk meningkatkan kemauan dan kesungguhan siswa dalam belajar.
Bisa dikatakan bahwa motivasi merupakan faktor penentu bagaimana kita melakukan segala sesuatu. Ia adalah dorongan jiwa yang dapat menumbuhkan semangat dalam belajar dan bekerja.  Ia mampu menimbulkan kekuatan luar biasa  pada diri seseorang dalam upayanya meraih tujuan atau keinginan yang dicita-citakan. Dengan motivasi pulalah maka seberat apapun rintangan bakal kita hadapi sekuat tenaga dan kemampuan.
 Setidaknya, motivasi seorang siswa ketika belajar tentunya adalah untuk naik kelas ataupun lulus bagi yang telah duduk di kelas tertinggi setiap jenjang pendidikan. Akan tetapi, sayangnya, fenomena yang terjadi dalam belasan tahun terakhir ini kalau hanya untuk sekadar naik kelas dan kelulusan memang anak-anak didik kita tidak perlu repot-repot belajar. Boleh dibilang bahwa detik-detik penantian pembagian raport kenaikan kelas atau pengumuman lulus tidaknya seorang siswa dalam ujian akhir yang diikutinya bukan lagi menjadi sebuah momen yang begitu mendebarkan dan penuh ‘teka-teki’. Baik untuk guru, orangtua/wali murid, maupun pelajar itu sendiri. Bahkan pemberlakuan sistem Ujian Nasionalpun tak berdampak kepada perubahan sikap tersebut.
Cukup beralasan kalau ada yang mengatakan bahwa kondisi demikianlah pemicu utama minimnya kemauan dan kesungguhan siswa dalam belajar. Singkat kata, peserta didik merasa tak perlu belajar dengan penuh kesungguhan. Dan ironisnya, sebagian gurupun ikut pula terseret arus keadaan.
Kelihatannya tak ada niat sama sekali untuk memperbaiki keadaan ini. Malah ditengarai telah banyak disusupi berbagai pihak yang punya ‘pertimbangan-pertimbangan’ untuk kepentingan pribadi, nama baik sekolah atau daerah dan sebagainya.
Percuma kita mencari-cari di mana letak kesalahannya. Sia-sia saja kita berdebat dengan hati nurani sendiri. Namun yang pasti dan mesti diakui, sekecil apapun itu, sesungguhnya kita juga telah menorehkan andil terhadap minimnya kemauan dan kesungguhan belajar siswa yang justru seringkali kita sendiri pula yang mengeluhkannya.
Wajar, karena selaku guru, kitalah yang setiap harinya bertatap muka dan bertemu langsung dengan para siswa. Maka bagaimanapun caranya, kita berkewajiban untuk terus dan  senantiasa  memotivasi  kemauan dan kesungguhan mereka dalam belajar. Toh, sejatinya, hasil belajar siswa bukan cuma ditakar dengan deretan angka belaka. Berarti, motivasi masih berfungsi.(*) 

                  **********************************************************

Pendidikan serta Semangat Persatuan dan Kesatuan                       
 Mengantarkan Indonesia Meraih Kemerdekaan

Oleh : Drs. Halim Mansyur Siregar  

Dari sejumlah negara di dunia bisa dikatakan Indonesia termasuk salah satu yang potensi disintegrasinya  menduduki posisi tertinggi. Penyebabnya antara lain adalah keanekaragaman etnik, bahasa, agama, budaya dan sebagainya. Kesenjangan (ketidakseimbangan) berbagai kelompok masyarakat ini di bidang ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan lain-lainnya tentu saja dapat menjadi ‘bom waktu’ yang siap meledak jika tidak diantisipasi secara bijak. 
Bahkan ancaman tersebut sebenarnya telah ada sejak negeri kita lahir sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Baik dengan latar belakang ideologis maupun atas dalih separatis. Dan akhir-akhir ini (fenomena NII- KW IX) seakan kembali mencuat ke permukaan.
Bagaimanapun sejarah telah membuktikan bahwa apabila kita terpecah belah maka kita akan tetap menjadi bangsa yang terjajah. Jika jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia  tidak kita miliki maka kita bakal kehilangan kekuatan dan mudah diadu domba. Karenanya, persatuan dan kesatuan itu menjadi sesuatu yang mutlak untuk dipertahankan. Singkat kata, agar menjadi bangsa yang besar dan kuat serta disegani dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain maka kita harus tetap bersatu padu. Semangat  ‘Bhinneka Tunggal Ika’ harus senantiasa terjaga. Salah satu upaya ke arah itu adalah dengan mengenali dan mengenang kembali sejarah perjuangan bangsa kita di masa lalu.
Di antara momen terpenting bersejarah tersebut ialah suatu hari yang kita kenal dengan sebutan Hari Kebangkitan Nasional. Hari yang jatuh pada tanggal 20 Mei 1908 ini merupakan tonggak sejarah yang ditandai dengan tumbuhnya kembali kesadaran berbangsa yang dilandasi oleh semangat persatuan dan kesatuan di kalangan masyarakat Indonesia.
Dikatakan tumbuh kembali karena memang jauh sebelum itu sebenarnya  kita sudah pernah merasakan hal serupa. Proses panjang dimaksud sebetulnya telah dimulai sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit. Di era keemasannya kedua kerajaan ini memiliki wilayah pemerintahan (kekuasaan) yang bahkan ada  melewati batas teritorial NKRI sekarang.
Dengan masuknya bangsa-bangsa Eropa, lambat laun kegemilangan itupun menjadi sirna. Selanjutnya, masa-masa penderitaanlah yang datang menggantikan. Tiada lain faktor utamanya adalah hampanya semangat persatuan dan kesatuan akibat politik ‘devide et impera’ yang diterapkan pihak penjajah (bangsa-bangsa Eropa) tadi.
Semua yang dialami pada masa-masa penjajahan tersebut menjadi catatan tersendiri akan betapa penting dan berharganya nilai persatuan dan kesatuan bagi tegak dan utuhnya Negara Republik Indonesia. Senjata, strategi perang yang jitu dan berbagai kesaktian serta kekuatan lainnya terbukti tak dapat mengantarkan  Indonesia menuju kemerdekaan bila tidak diiringi dengan semangat persatuan dan kesatuan. Kesadaran inilah yang kelak menjadi kekuatan utama dan terbesar dalam perjuangan bangsa kita hingga mencapai kemerdekaan.
Segenap komponen bangsa (terutama para pemuda) kemudian mengubah strategi perjuangan yang dilakukan. Maka terbentuklah sebuah organisasi yang disebut dengan Budi Utomo di mana kaum muda menjadikan pendidikan sebagai tambahan kekuatan guna melengkapi dan menyempurnakan semangat persatuan dan kesatuan itu demi meraih kemerdekaan yang dicita-citakan. Terbukti keduanya menyumbangkan kontribusi terbesar sehingga Indonesia merdeka terwujud menjadi nyata.(*)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar