Oleh : Halim Mansyur Siregar
Sudah menjadi kodrat kehidupan
bahwa dalam setiap kelompok masyarakat akan selalu ada sosok yang mendapat
predikat selaku pemimpin. Ia diberi atau memperoleh wewenang yang mungkin
melalui pendidikan/latihan, kekayaan, tradisi turun temurun maupun kemampuan
alami untuk mengatur kelompok masyarakatnya itu. Bahkan tidak jarang pula
wewenang dimaksud didapatkan dengan jalan ‘rekayasa’ yang pada akhirnya tipe
kepemimpinannya pun biasanya senantiasa dipenuhi aroma serupa, yakni hanyut
dengan kesibukan merekayasa.
Tiap-tiap satuan pendidikan
(sekolah) juga merupakan suatu kelompok masyarakat. Dan tentu saja memiliki seorang pemimpin. Sebutan
untuk pemimpin kelompok ini lazim dikenal dengan istilah Kepala Sekolah.
Meski sulit dibuktikan, namun
bukan rahasia umum bahwa seseorang yang hendak diangkat menjadi figur kepala
sekolah harus rela ‘berkorban’ puluhan juta rupiah. Konon, kata banyak orang, jika
hanya bermodalkan kemampuan yang cukup mumpuni saja ternyata tidak akan berarti
apa-apa bila tak dilengkapi dengan ‘lampiran berkas’ yang satu itu. Maka jangan
heran kalaupun seandainya kita menemukan tipe kepemimpinan kepala sekolah yang
tiada sedikitpun bersinggungan dengan kemajuan institusi yang dipimpinnya. Atau
jika ada, paling-paling sekadar ‘basa-basi’ saja. Akan tetapi tujuan utamanya
ialah melanggengkan jalan bagi ambisi pribadi yang ia miliki.
Seandainya hal itu yang terjadi,
tentulah berdampak kepada produktifitas kinerja para guru dan segenap staf/pegawai
yang dipimpinnya. Mereka yang barangkali berpotensi memiliki cahaya dedikasi
dan semangat kerja tergolong tinggi lambat laun akan meredup atau bahkan tak
bersinar lagi. Jelas, muaranya ialah merosotnya kualitas kegiatan belajar mengajar dan mutu pendidikan di
sekolah tersebut. Inilah salah satu penyebab mengapa ada sekolah-sekolah yang
walaupun situasi dan kondisinya relatif sama tetapi kualitasnya jauh berbeda.
Bentuk kepemimpinan kepala sekolah-lah yang menorehkan andil di dalamnya.
Model kepemimpinan kepala sekolah
pastilah sangat memengaruhi etos kerja para guru dan staf pegawai yang notabene
adalah ‘anak buah’nya. Corak kepemimpinan yang ia terapkan akan mewarnai
kondisi kinerja para bawahannya itu. Bahkan suasana KBM (kegiatan belajar mengajar)
dan baik buruknya keadaan sebuah sekolah secara umum didominasi oleh gaya
kepemimpinan sang kepala sekolah.
Jadi, profil kepemimpinan kepala
sekolah yang baik haruslah mampu
memberdayakan dirinya maupun orang lain (guru dan staf/pegawai) untuk melaksanakan
tugas dan kewajiban dengan penuh tanggungjawab. Tentu saja diawali dari
menyadari dan memahami serta mengendalikan dirinya sendiri, baru kemudian
mengenali dan memahami serta mengendalikan dan menggerakkan para guru dan
staf/pegawai selaku bawahannya. Dengan demikian akan terciptalah gairah dan
semangat kerjasama serta hubungan yang serasi dan harmonis di sela-sela
kesibukan menjalankan kewajiban yang dibebankan. ‘The right man on the right
job’ adalah kata kuncinya. Ia merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan di sekolah kita, di daerah kita dan bahkan di
negara kita yang pada akhirnya akan dapat menaikkan kembali citra pendidikan Indonesia
di mata dunia.
Kita patut bersyukur karena
memiliki tipikal kepala sekolah seperti
yang penulis paparkan di atas. Tentu saja sebagai manusia biasa, beliaupun
sangat mungkin untuk tidak luput dari kesalahan
atau kekurangan. Dan seandainyapun itu terjadi maka menjadi tugas dan
kewajiban kita bersamalah untuk saling memperbaiki dan melengkapinya. (Penulis
dedikasikan untuk Bapak Kepala Sekolah yang berulangtahun pada 3 Maret yang
lalu)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar