Selamat Datang di Blog Majalah Dinding Cahaya JIWA - Online

Jumat, 07 November 2014

SEBAGIAN KARYA TULIS pada edisi ke: 25-30



Antara Aku, Bang Fazri dan Kak Cindy
-----------------------------------------------
Oleh : Hadijah Nur Islami Siregar
(Putri dari Drs. Halim Mansyur Siregar)


Namaku Nur Ikhwani. Biasa dipanggil Nuri. Kata ayahku, ‘nur’ berarti cahaya. Sedangkan ‘ikhwani’ artinya saudaraku.
          Aku merupakan putri sulung dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan. Sebagai anak pertama, menurut penuturan ayah, dengan nama yang ku sandang itu beliau berharap agar aku dapat menjadi ‘cahaya’ bagi ‘saudara-saudaraku’. Bahkan ‘cahaya persaudaraan’ pada umumnya. Aku sangat bangga karena mempunyai nama yang memiliki makna yang sangat mendamaikan dan berusaha agar nama tidak hanya menjadi pajangan tanpa dapat menunjukkan arti dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
          Saat ini aku adalah seorang siswi di SMP Negeri 1 Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Tepatnya, aku duduk di bangku kelas VII Bilingual-1. Sebuah kelas di mana kegiatan belajar mengajarnya menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Inggris dan Indonesia. Karena kami masih kelas VII , jadi masih lebih sering memakai bahasa Indonesianya.
          Memasuki bulan kedua bersekolah di SMP aku berkenalan dengan seorang ‘abangkelas’. Ketika itu, oleh karena tak sempat sarapan di rumah maka begitu bel tanda istirahat pertama berbunyi, secara spontan aku bergegas menuju kantin. Aku menjadi orang pertama yang sampai di sana. Perutku benar-benar keroncongan minta diisi.
Segera ku pesan sepiring lontong sayur kepada Ibu Kantin. Dan tak lama kemudian beliaupun menyodorkan pesanan itu ke hadapanku. Tentu saja aku pun langsung menyantapnya tanpa menghiraukan lagi suasana kantin yang mulai dipenuhi kerumunan siswa-siswi yang lain.
“Wah, enak sekali makannya, ya Dik”. Tiba-tiba terdengar sapaan yang ditujukan kepadaku.
Dengan sedikit tersipu malu aku menengadahkan wajah untuk menatap si pemilik suara. Ternyata dia adalah seorang cowok yang duduk persis di depanku. Di bajunya tersemat gambar bintang sebanyak tiga buah dan berwarna hijau yang menunjukkan bahwa ia sudah kelas sembilan.Senyumnya yang simpati dan gayanya yang ramah serta wajahnya yang tampan membuatku jadi serba salah
“He-he-he, iya Bang. Tadi gak sempat sarapan”, ucapku seadanya, sembari menyeruput beberapa teguk air putih dari dalam gelas yang sebelumnya telah aku persiapkan.
“O ya, Abang udah pesan makanan ? Nanti keburu bel masuk lho !?” lanjutku beberapa detik kemudian. “Lagi pula sudah hampir habis makanan yang ada di kantin,” lanjutku dengan tergesa-gesa.
“Cuma beli roti aja. Nih, baru habis juga,” jawabnya sambil memperlihatkan sebuah plastik bekas bungkus roti berukuran agak besar yang berada di tangan kanannya. Sekali lagi aku tersipu malu. Sebab itu berarti sudah lumayan lama pula ia duduk dan memperhatikanku sewaktu melahap sepiring lontong tadi.
“Nama Abang, Fazri. Kalau Adik, siapa ?”
“Nur Ikhwani, Bang”, jawabku sedikit gugup.
Selanjutnya kami pun ngobrol tentang berbagai hal. Terutama yang berkaitan dengan keadaan di sekolah. Tentang sesiapa dan bagaimana sifat guru ini dan guru itu yang mengajar di kelas masing-masing. Saling bertanya dan saling menjawab. Bahkan sama sekali tanpa rasa canggung dan sungkan-sungkan lagi. Seakan-akan kami telah saling mengenal sejak lama. Hingga tak terasa, bel tanda jam istirahat berakhir baru saja berdering dan kami harus segera beranjak meninggalkan kantin untuk kembali ke ruang kelas.
Hari-hari berikutnya hubunganku dengan Bang Fazri pun bertambah dekat dan kian akrab. Semakin sering ia sengaja menemuiku. Malah akhir-akhir ini hampir tiap hari. Entah itu di kantin sekolah atau terkadang datang ke kelasku pada jam-jam istirahat sedang berlangsung. Bahkan tak jarang pula ia mengantarkan aku pulang ke rumahku. Dan sering pula ia mengajariku materi-materi pelajaran yang sulit aku megerti. Dengan sangat sabar ia menjelaskan materi pelajaranku itu.
Pernah dia bercerita padaku bahwa dia sudah menganggapku sebagai anggota dari keluarganya sendiri. bahkan dia sendiri berkata kalau pintu rumahnya selalu terbuka untukku. Aku memandangnya sebagai orang yang mandiri dan berpikiran dewasa. Dan sifatnya sangat santun kepada siapa pun.
Hari-haripun berlalu tanpa terasa .Kami menjadi semakin dekat dan terus bertambah akrab . Di mana ada Bang Fazri, di situ pasti ada aku.
Pernah ada teman yang bertanya tentang hubunganku dengan Bang Fazri. Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum. Tapi yang jelas, bagiku Bang Fazri adalah idola sekaligus pelindungku. Setiap kali berjalan berdua hatiku begitu bangga. Rasanya akulah orang yang paling bahagia di dunia.
 Pernah pula ada teman berkomentar: “Nur ,kalian kok lebih mirip abang adik dari pada pacaran ? Soalnya wajah kalian mirip sekali sih”.
 “Ah..., masak ia sih aku mirip dengan Bang Fazri ?” Aku balik bertanya.
“Iya, tanya saja pada orang lain !”
Dengan hati penuh penasaran akupun berlalu dari hadapannya. “Masak iya sih aku mirip Bang Fazri”, kata hatiku.
Kian hari Bang Fazri semakin memberikan perhatian ekstra kepadaku. Setiap pagi ia selalu menelponku untuk segera bangun dan mengigatkan jangan lupa sarapan. Bila dia punya waktu senggang, ia  selalu bercerita padaku melalui layanan pesan singkat (SMS). Setiap kali aku berbuat salah, dia selalu menasehatiku. Setiap kali bimbang tentang suatu hal, dia selalu memberikan aku jalan dengan memberikan saran-saran yang sangat bermutu. Sikapnya yang sangat dewasa itu  membuatku semakin mengaguminya.
Bang Fazri telah menjelma sebagai orang yang istimewa dalam hidupku. Dia selalu setia menemaniku di saat senang maupun susah. Kini hampir semua teman di kelasku mengetahui bahwa Bang Fazri adalah “body guard” ku karena selalu menjaga dan melindungiku.
           Namun pada suatu hari, saat aku berada di depan kelas,  secara tiba–tiba ada seorang kakak kelas datang menghampiriku. Papan nama di dadanya bertuliskan: CINDY.  Sambil marah-marah ia melabrakku. Dia berkata,   “Jauhi Bang Fazri! Aku gak mau kau rebut dia dariku.”
Tentu saja aku terkejut bukan kepalang dibuatnya. Dengan sedikit bingung aku berkata, “Apa maksud Kakak ? Siapa yang saya rebut dari kakak ?”
Setelah emosinya sedikit mereda, akhirnya kakak tersebut menjelaskan bahwa dia adalah pacar Bang Fazri.
Laksana petir di siang-bolong, akupun semakin terkejut mendengarnya. Rasanya badanku seperti sempoyongan dan tak sanggup lagi untuk berdiri.  Tetapi aku segera mengatasi segala perasaan yang berkecamuk di dalam hati.
Ternyata selama ini Kak Cindy merasa aku telah merebut Bang Fazri darinya. Melihat kedekatan kami dan perhatian Bang Fazri terhadapku, Kak Cindy menganggap aku adalah pacar barunya Bang Fazri.
Entah kenapa akupun merasa kurang terima karena dituduh merebut Bang Fazri. Dengan sedikit emosi aku membela diri. Tapi sayangnya, itu malah membangkitkan kembali emosi Kak Cindy. Kami terlibat adu mulut dan bertengkar hebat. Seakan tak ada yang mau mengalah. Masing-masing merasa paling benar. Sampai akhirnya pertengkaran itu dihentikan oleh bunyi bel dan Kak Cindypun berlalu meninggalkanku dengan raut wajah yang memancarkan kekesalan hatinya.
              Rupanya berita pertengkaran tadi sampai juga ke telinga Bang Fazri . Ia ingin segera menjelaskan duduk persoalannya. Bang Fazri mengajakku bertemu di warung bakso dekat sekolah sepulangnya nanti.
Akupun menuruti ajakan Bang Fazri. Ternyata sebelum kami berdua tiba, Kak Cindy sudah menunggu di sana. Wajahnya tampak cemberut masam. Aku berusaha menenteramkan suasana hatiku yang juga masih belum menentu.
Melihat sikap kami begitu, Bang Fazri hanya tersenyum kecil sambil berkata, “Sudahlah, jangan seperti anak kecil! Sekarang, dengarkan dulu penjelasanku!”
Setelah Bang Fazri bercerita, barulah aku dan Kak Cindy tahu kalau dulu ia mempunyai adik yang mirip sekali denganku. Baik wajah maupun sifat-sifatku  membuat ia teringat akan adiknya itu. Menurut Bang Fazri, semua nyaris sama.
Adik Bang Fazri tersebut bernama Dinda. Ia telah meninggal dunia setahun yang lalu akibat kecelakaan lalu-lintas saat dibonceng ayah mereka dalam perjalanan menuju ke sekolah.
Kulihat mata bang Fazri berkaca-kaca saat ia mengingat kembali kejadian itu. Dia begitu terpukul saat kehilangan adik satu-satunya itu. Sampai akhirnya ia bertemu denganku. Baginya, aku adalah pengganti adiknya yang telah pergi untuk selamanya.
Kini akupun mengerti kenapa selama ini bang Fazri begitu memperhatikanku. Walau sedikit kecewa aku menerima kenyataan bahwa pacar  Bang Fazri adalah Kak Cindy. Sedangkan aku hanyalah sebagai pengganti adiknya. Tapi itu justru jauh lebih bermakna dan memberikan keindahan tersendiri bagiku. Sebab memang selayaknyalah aku menjadi adik untuk mereka berdua.  Bang Fazri dan Kak Cindy.
Akhirnya aku dan Kak Cindy-pun salin
g bermaaf-maafan. Dua hati yang tadi sempat memanas, kini sudah kembali dingin. Tiga mangkuk bakso di hadapan kami juga sudah hampir dingin. Kami harus segera menyantapnya.(*)



 

Nama-Nama Menteri
Oleh: M.Hamsa,S.Pd.

1.    Menteri Sekretaris Negara: Prof. Dr. Pratikno (Rektor UGM)
2. Kepala Bappenas: Andrinof Chaniago (Ahli kebijakan publik dan anggaran)
3. Menteri Kemaritiman: Indroyono Soesilo (Praktisi)
4. Menko Politik Hukum dan Keamanan: Tedjo Edy Purdjianto (Mantan KSAL)
5. Menko Perekonomian: Sofyan Djalil (ahli ekonomi)
6. Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan: Puan Maharani (PDIP)
7. Menteri Perhubungan: Ignatius Jonan (Dirut PT KAI)
8. Menteri Kelautan dan Perikanan: Susi Pudjiastuti (Wirausahawati)
9. Menteri Pariwisata: Arief Yahya (Profesional)
10. Menteri ESDM: Sudirman Said
11. Menteri Dalam Negeri: Tjahjo Kumolo (PDI Perjuangan)
12. Menteri Luar Negeri: Retno Lestari Priansari Marsudi (Dubes RI di Belanda)
13. Menteri Pertahanan: Ryamizard Ryacudu (mantan KSAD)
14. Menteri Hukum dan Ham: Yasonna H.Laoly (PDI Perjuangan)
15. Menkominfo: Rudi Antara (profesional)
16. Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi: Yuddy Chrisnandi (Nasdem)
17. Menteri Keuangan: Bambang Brodjonegoro (ekonom)
18. Menteri BUMN Rini M.Soemarno (mantan Ketua Tim Transisi/mantan menteri perindustrian)
19. Menteri Koperasi dan UMKM: Puspayoga
20. Menteri Perindustrian: Saleh Husin (Hanura)
21. Menteri Perdagangan: Rahmat Gobel (profesional)
22. Menteri Pertanian: Amran Sulaiman (praktisi)
23. Menteri Ketenagakerjaan: Hanif Dhakiri (politisi)
24. Menteri PU dan Perumahan Rakyat: Basuki Hadimuljono (birokrat)
25. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan: Siti Nurbaya (Nasdem)
26. Menteri Agraria dan Tata Ruang: Ferry Musyidan Baldan (Nasdem)
27. Menteri Agama: Lukman Hakim Saifudin (PPP)
28. Menterni Kesehatan: Nila F Moeloek (profesional)
29. Menteri Sosial: Khofifah Indra Parawansa (tokoh Muslimah NU)
30. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan anak: Yohanan Yambise
31. Menteri Budaya Dikdasmen: Anies Baswedan (mantan Tim Transisi)
32. Menristek dan Dikti: M.Nasir (Rektor Undip)
33. Menpora: Imam Nahrawi (politisi)
34. Menteri PDT dan Transmigrasi: Marwan Jafar (PKB)


Sumber: internet



BELAJAR SEUMUR HIDUP



            Sering kita mendengar orang mengucapkan kata-kata ‘Life Long Education’ (Belajar Seumur Hidup) atau ‘Uthlubul ilmi minal mahdi ilal lahdi’ (Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat). Kedua ungkapan (pepatah) ini tidak lain dan tidak bukan adalah menunjukkan betapa pentingnya belajar bagi kita selaku manusia. Boleh dikatakan, profesi / pekerjaan apapun yang kita tekuni saat ini atau di kemudian hari nanti tidaklah ‘ujug-ujug’ (sekonyong-konyong) dan serta-merta datang sendiri. Tidak! Sekali lagi, tidak!! Akan tetapi ia haruslah melalui suatu proses dan itulah yang disebut dengan belajar.
          Menjadi seorang ‘pesinden’ saja harus dimulai dengan belajar. Apalagi ingin menjadi seorang presiden. Menjadi petani sayur pun mestilah lebih dahulu belajar. Konon lagi untuk menjadi seorang gubernur. Menjadi seorang pembuat roti juga harus diawali dengan belajar. Apalagi hendak menjadi bupati. Menjadi seorang pembuat saos tomat, juga dimulai dari belajar. Begitu pula untuk menjadi seorang camat, sudah tentu haruslah belajar lebih dahulu. Mau jadi kepala desa, guru, tentara, polisi, dokter, hakim dan sebagainya, lagi-lagi kata kuncinya adalah melalui proses yang dinamakan belajar. Jadi, gunakanlah waktu sebanyak-banyaknya untuk belajar! Jangan biarkan ia berlalu sia-sia tanpa sedikitpun ilmu yang menyertainya!! (Halim M. Siregar)

                                                                         

Essensi Hari Sumpah Pemuda
Oleh: Halim M. Siregar
  
Setiapkali memasuki pekan (minggu) terakhir di bulan Oktober maka segenap bangsa Indonesia akan mengenang sebuah peristiwa bersejarah yang menunjukkan betapa ‘kaum muda’ selalu menorehkan andil demikian besar dalam momen-momen menentukan bagi tegak dan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peristiwa dimaksud adalah dicetuskannya ‘Sumpah Pemuda’ sebagai pernyataan tekad satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa yang kemudian menjadi landasan sikap, jiwa dan semangat perjuangan seluruh rakyat Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Peristiwa itu tentu tidak berdiri sendiri. Akan tetapi ia merupakan bagian dari rangkaian usaha bangsa Indonesia (khususnya para pemuda) dalam berjuang menuju cita-cita kemerdekaan.
Adapun  awalnya sifat perjuangan yang dilakukan masih bercirikan kedaerahan. Ini dapat dilihat dari perkumpulan-perkumpulan (organisasi) pemuda yang dibentuk pada masa-masa sebelumnya.
Organisasi kepemudaan yang pertama didirikan ialah ‘Jong Java’ (Pemuda Jawa), yaitu pada tahun 1915. Langkah tersebut diikuti pula oleh lahirnya ‘Jong Sumatranen Bond’ di tahun 1917. Dan selanjutnya daerah-daerah lainpun seakan

tak mau ketinggalan mendirikan organisasi-organisasi sejenis, misalnya: ‘Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Celebes’ dan lain-lain.
Dari nama-nama organisasi tersebut terlihat pula bahwa semuanya kental dengan aroma primordial (kesukuan dan daerah asal). Kata-katanya juga menggunakan bahasa Belanda. Belum begitu terasa penghargaan terhadap bahasa dan nilai persatuan Indonesia.
Namun pada periode berikutnya mulai muncul suara-suara dan keinginan untuk memadukan kekuatan para pemuda. Maka diselenggarakanlah ‘Kongres Pemuda’ se-Indonesia pada tahun 1926 yang mengusulkan persatuan Indonesia. Meskipun ketika itu belum sepenuhya berhasil tetapi cita-cita persatuan sudah ditanamkan.
Adalah PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) yang anggotanya terdiri dari para mahasiswa Sekolah Tinggi di Jakarta dan Bandung yang mengusahakan tercapainya persatuan tersebut. Organisasi ini mengadakan ‘Kongres Pemuda se-Indonesia (II)’ di mana hasilnya ialah mendapatkan kata sepakat dari semua perkumpulan para pemuda tentang kesadaran satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Inilah yang kemudian kita kenal sebagai Hari Sumpah Pemuda atau Hari Pemuda  dan kita peringati setiap tahunnya.
Sejak saat itu maka perkumpulan-perkumpulan pemuda yang bersifat kedaerahan harus menentukan sikap: primordial atau nasional. Dan umumnya

organisasi-organisasi tadi membubarkan diri dan melebur dalam organisasi baru yang mencakup seluruh Persada dengan nama ‘Indonesia Muda’.
Kendati menurut Anggaran Dasarnya tidak mencampuri urusan politik, namun organisasi ini jelas berhaluan politik. Tujuan yang akan dicapai adalah memperkuat rasa persatuan di kalangan pemuda / pelajar, memajukan pergerakan pemuda kearah pergerakan nasional dan membangun serta mempertahankan kesadaran berbangsa, bertanah air dan berbahasa yang satu, yakni Indonesia.
Demikianlah sekelumit  perjalanan Sumpah Pemuda.  Semoga perasaan kebangsaan yang telah disemaikan dengan susah payah itu tetap tumbuh subur di hati sanubari kita masing-masing! Jangan sampai cita-cita yang sudah kita capai itu tercerai-berai kembali oleh karena kepentingan-kepentingan kelompok atau pribadi! Menempatkan kepentingan bangsa dan Negara Indonesia di atas segala kepentingan pribadi maupun golongan atau kelompok tertentu haruslah benar-benar kita terapkan !!! Itulah sesungguhnya essensi dari Hari Sumpah Pemuda yang kita peringati setiap tahun, termasuk pada tahun ini.


* * *



Tidak ada komentar:

Posting Komentar