Selamat Datang di Blog Majalah Dinding Cahaya JIWA - Online

Selasa, 16 April 2013

Edisi ke-14: Selasa, 16 April 2013: OPINI






Emansipasi  yang  Salah  Arti

Oleh : Halim Mansyur Siregar 

    
   Adalah Siti Hawa, makhluk manusia berupa perempuan (wanita) yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan. Karena itulah pada perkembangan berikutnya para wanita lazim pula disebut dengan istilah ‘Kaum Hawa’.
  Adalah juga kodratnya bila wanita selalu saja menjadi pusat berita dan perhatian. Baik oleh kalangan mereka sendiri dan terlebih lagi dari sudut  pandang mata para lelaki. Sebab, secara fisik sekujur tubuh perempuan sesungguhnya memang memancarkan pesona keindahan yang tak dimiliki oleh kaum pria. Dari rambut  bak ‘mayang terurai’  hingga betis yang bagai ‘bulir padi bunting’ dan lain sebagainya merupakan majas-majas yang melukiskan aura kecantikan seorang perempuan. Sayangnya, pesona keindahan perempuan yang demikian itu kini acapkali ‘dieksploitasi’, diumbar sendiri atau bahkan menjadi semacam komoditas yang sengaja diperdagangkan untuk meraup keuntungan materi.
   Sudah tak terhitung lagi perempuan-perempuan yang senang dan bangga mempertontonkan bagian-bagian tubuh mereka kepada khalayak banyak meskipun sesungguhnya itu melanggar norma-norma agama, susila, sosial, budaya, etika dan sebagainya. Entah demi segepok uang, sekelumit ketenaran atau sekadar ingin mendapatkan ‘perhatian ekstra’ dari lingkungan di sekitarnya. Tak jarang, atas nama emansipasi, para wanita menuntut kesamaan secara total dengan kaum pria di segala lini kehidupan dan lapangan  pekerjaan yang tersedia. Tidak heran pula jika dewasa ini sosok-sosok yang seharusnya identik dengan kelemahlembutan itu banyak yang berkecimpung menekuni pekerjaan-pekerjaan ‘kasar’ yang sejatinya menjadi ‘domain’ kaum laki-laki.
   Buruh-buruh pabrik/bangunan, penyapu jalan di kota-kota dan beraneka jenis pekerjaan kasar lainnya sekarang justru didominasi kaum perempuan. Lucunya (atau bisa juga sedihnya), dalam keluarga semakin banyak pula peran perempuan(istri) saling bertukar tempat dengan si lelaki (suami). Sang istri mencari nafkah di bawah derasnya guyuran hujan atau teriknya sengatan matahari, sementara sang suami lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah untuk ‘ongkang-ongkang kaki’ atau ‘nongkrong’ di warung kopi. Nah, kalau posisi sudah begini, masihkah para wanita getol mengumandangkan tuntutan emansipasi?
  Dulu, wanita-wanita Indonesia suka berkebaya, berkerudung dan bahkan memakai kain (sarung) bila keluar rumah. Mereka terlihat anggun, feminin dan penuh tatakrama. Tetapi kini pemandangan demikian sudah sangat sukar untuk ditemukan. Benar-benar langka. Paling-paling (kalaupun ada), tentulah nun jauh di pelosok desa. Sehingga penampilan seperti itu pun dianggap ‘udik’, kampungan dan ketinggalan zaman. Kurang bebas bergerak, kata sebagian besar mereka memberi alasan.
   Ada-ada saja!!! Gerakan macam apa rupanya yang hendak dilakukan? Kebebasan seperti apa pula yang diinginkan? ‘Jingkrak-jingkrak??’ Atau goyang ngebor?? Kalau itu dalihnya, pantaslah mereka lebih memilih dan menggemari pakaian-pakaian model ‘jeans’, ketat, nampak pusat atau super tipis dan tembus pandang.
  Seandainya Raden Ajeng Kartini (sang tokoh emansipasi di negeri tercinta ini) masih hidup, tentulah beliau akan kecewa. Emansipasi yang diperjuangkan dan dicita-citakannya untuk wanita-wanita Indonesia seakan ‘kebablasan’. Emansipasi yang salah arti.*

Keterangan:
   Artikel ini telah diedit dan disesuaikan untuk keperluan mading(pernah dikirim ke Koran Mimbar Umum-Medan, terbit pada edisi 24  April 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar