Oleh : Halim Mansyur Siregar
Adalah Siti Hawa, makhluk manusia berupa perempuan (wanita) yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan. Karena itulah pada perkembangan berikutnya para wanita lazim pula disebut dengan istilah ‘Kaum Hawa’.
Adalah
juga kodratnya bila wanita selalu saja menjadi pusat berita dan perhatian. Baik
oleh kalangan mereka sendiri dan terlebih lagi dari sudut pandang mata para lelaki. Sebab, secara fisik
sekujur tubuh perempuan sesungguhnya memang memancarkan pesona keindahan yang
tak dimiliki oleh kaum pria. Dari rambut
bak ‘mayang terurai’ hingga betis
yang bagai ‘bulir padi bunting’ dan lain sebagainya merupakan majas-majas yang
melukiskan aura kecantikan seorang perempuan. Sayangnya, pesona keindahan
perempuan yang demikian itu kini acapkali ‘dieksploitasi’, diumbar sendiri atau
bahkan menjadi semacam komoditas yang sengaja diperdagangkan untuk meraup
keuntungan materi.
Sudah
tak terhitung lagi perempuan-perempuan yang senang dan bangga mempertontonkan
bagian-bagian tubuh mereka kepada khalayak banyak meskipun sesungguhnya itu
melanggar norma-norma agama, susila, sosial, budaya, etika dan sebagainya.
Entah demi segepok uang, sekelumit ketenaran atau sekadar ingin mendapatkan
‘perhatian ekstra’ dari lingkungan di sekitarnya. Tak jarang, atas nama
emansipasi, para wanita menuntut kesamaan secara total dengan kaum pria di
segala lini kehidupan dan lapangan
pekerjaan yang tersedia. Tidak heran pula jika dewasa ini sosok-sosok
yang seharusnya identik dengan kelemahlembutan itu banyak yang berkecimpung
menekuni pekerjaan-pekerjaan ‘kasar’ yang sejatinya menjadi ‘domain’ kaum
laki-laki.
Buruh-buruh
pabrik/bangunan, penyapu jalan di kota-kota dan beraneka jenis pekerjaan kasar
lainnya sekarang justru didominasi kaum perempuan. Lucunya (atau bisa juga
sedihnya), dalam keluarga semakin banyak pula peran perempuan(istri) saling
bertukar tempat dengan si lelaki (suami). Sang istri mencari nafkah di bawah
derasnya guyuran hujan atau teriknya sengatan matahari, sementara sang suami
lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah untuk ‘ongkang-ongkang kaki’ atau
‘nongkrong’ di warung kopi. Nah, kalau posisi sudah begini, masihkah para wanita
getol mengumandangkan tuntutan emansipasi?
Dulu,
wanita-wanita Indonesia suka berkebaya, berkerudung dan bahkan memakai kain
(sarung) bila keluar rumah. Mereka terlihat anggun, feminin dan penuh
tatakrama. Tetapi kini pemandangan demikian sudah sangat sukar untuk ditemukan.
Benar-benar langka. Paling-paling (kalaupun ada), tentulah nun jauh di pelosok
desa. Sehingga penampilan seperti itu pun dianggap ‘udik’, kampungan dan
ketinggalan zaman. Kurang bebas bergerak, kata sebagian besar mereka memberi alasan.
Ada-ada
saja!!! Gerakan macam apa rupanya yang hendak dilakukan? Kebebasan seperti apa
pula yang diinginkan? ‘Jingkrak-jingkrak??’ Atau goyang ngebor?? Kalau itu
dalihnya, pantaslah mereka lebih memilih dan menggemari pakaian-pakaian model
‘jeans’, ketat, nampak pusat atau super tipis dan tembus pandang.
Seandainya
Raden Ajeng Kartini (sang tokoh emansipasi di negeri tercinta ini) masih hidup,
tentulah beliau akan kecewa. Emansipasi yang diperjuangkan dan
dicita-citakannya untuk wanita-wanita Indonesia seakan ‘kebablasan’. Emansipasi
yang salah arti.*
Keterangan:
Artikel ini telah diedit
dan disesuaikan untuk keperluan mading(pernah dikirim ke Koran
Mimbar Umum-Medan, terbit pada edisi 24 April
2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar